TUHAN PERSONA NON GRATA
(Corona, 😎
Emha Ainun Nadjib
Kenapa diperlukan health-distance, jarak kesehatan, atau healthy-distance, jarak sehat, antar orang sekitar 2 (dua meter) dalam persinggungan sosial di manapun dan kapanpun selama dibutuhkan tindakan preventif atas Coronavirus di seluruh muka bumi? Kenapa jangan kumpul-kumpul untuk keperluan apapun, jangan Maiyahan di lapangan seperti biasanya, bahkan jangan shalat berjamaah apalagi dengan shaf rapat?
Karena Covid-19 itu bersifat “min haitsu la yahtasib”, tidak bisa diduga, apalagi diperhitungkan sedang melayang-layang di sekitarmu atau tidak. Tuhan menginformasikan “barangsiapa fokus mengabdi kepada-Ku, atau siapa bertaqwa kepada-Ku, Aku kasih rezeki yang tak terduga. Tak terduga atau tak bisa diperhitungkan oleh pengetahuan dan ilmu manusia wujudnya apa, seberapa besar, datangnya dari mana, dan dengan cara apa. Tuhan menyatakan itu tidak kepada pohon bambu, daun kangkung, kambing atau anjing, melainkan kepada manusia. Dan karena manusia bukan makhluk sebagaimana alam dan hewan, maka pernyataan Tuhan tadi bisa ia simulasikan, misalnya: “Barangsiapa fokus hidupnya tidak kepada-Ku, barang siapa bertaqwa kepada yang selain Aku, maka kusiapkan adzab (lawan maknanya rezeki) “min haitsu la yahtasib” juga.
Coronavirus sedang merasuki siapa, sedang diangkut oleh siapa, di mana, kapan, tak ada manusia yang tahu. Menteri Kesehatan Negara pelopor kemajuan modern bisa ternyata dihinggapi. Wakil Perdana Menteri Negara Islam pun tidak lantas merdeka dari hukum “min haitsu la yahtasib”. Boleh selebritis, boleh orang populer sedunia, boleh bintang film internasional, boleh Walikota taat ibadah, siapapun saja, tidak merdeka dari aturan langit “min haitsu la yahtasib”.
Peradaban ummat manusia abad 21 tidak sempat menerapkan peribahasa klasik “sedia payung sebelum hujan”. Andaikan ada alat genggam yang bisa akurat mendeteksi di sekitar kita ada virus Corona atau tidak — maka kita tinggal bawa ke mana-mana. Kalau jelas suatu area bebas Corona, maka kita tetap bisa Maiyahan.
Bangsa Italia yang memang budayanya “mblunat”, “cuwawakan”, sembrono sehari-harinya, bahkan merupakan eksportir utama “Gentho-gentho” dan “preman-preman” yang kemudian dikenal sebagai Mafia — mengalami kedahsyatan “min haitsu la yahtasib” lebih parah dari Negara produsen Covid-19. Saya pernah hampir berantem dengan beberapa lelaki di suatu lokasi pariwisata Italia, karena mulut mereka begitu ekspresif seperti mengajak berkelahi — ternyata itu hanya tradisi mulut budaya mereka — kami kemudian malah berteman akrab, bahkan saya tinggali Peci Maiyah pada malam pemakaman Paus Johannes Paulus II.
Saya pernah juga datang ke Pompeii, lokasi salah satu bencana terbesar Eropa, yakni letusan Gunung Vesuvius pada tahun 79 Masehi. Banyak sekali lelaki perempuan sedang tidur berdua, atau lelaki dengan lelaki, mendadak menjadi seperti patung batu, saking dahsyat dan mendadaknya letusan gunung itu. Gunung Vesuvius memuntahkan awan tefra dan gas mematikan hingga ketinggian 33 kilometer (21 mil), menyemburkan batuan cair, batu apung hancur, dan debu panas dengan laju 1,5 juta ton per detik, yang akhirnya melepaskan energi termal 100.000 kali pengeboman Hiroshima-Nagasaki. Beberapa permukiman Romawi lenyap dan terkubur di bawah semburan piroklastik dan timbunan abu gunung berapi masif, yang paling terkenal adalah Pompeii dan Herculaneum.
Saya tidak menuduh atau memastikan bahwa apa yang dialami masyarakat Italia itu merupakan adzab Allah mirip dengan zaman Sodom & Gomorah Nabi Luth. Tetapi memang sebab-akibat perbuatan manusia dengan hukuman Tuhan terakhir yang kita ketahui dan percayai adalah ketika Tuhan sendiri yang menginformasikan. Yakni ketika Tuhan mempersemayamkan Kakek Adam dan Nenek Hawa di Sorga, kemudian diwanti-wanti “wala taqroba hadzihis syajarota fatakuna minadh-dholimin”. Jangan dekati pohon itu (apalagi memanjat dan memetik buahnya), supaya tidak menjadi orang dhalim.
Tidak ada argumentasi ilmiah apapun kenapa kalau mendekati pohon itu lantas menjadi orang dhalim. Satu-satunya alasan hanyalah bahwa “kalau Allah melarang ya jangan dilakukan”. Tidak ada argumentasi kesehatan, misalnya apakah Pohon itulah asal-usul segala virus yang menabur di bumi. Yang ada hanya hak mutlak Allah, karena Ia yang menciptakan pohon itu maupun Adam. Jangan tanya kepada seorang pelukis kenapa ia memilih guratan itu dikasih warna hijau atau merah, atau faktor-faktor lain dalam lukisan itu. Pelukis saja kita izinkan punya hak absolut dalam menentukan segala faktor dan unsur dalam lukisannya. Kenapa kepada Allah kita rewel.
Tetapi memang sejak dahulu kala hingga hari ini manusia punya kecenderungan besar untuk meremehkan Tuhan. Tuhan “tidak dianggep”. Kena Corona tidak merasa bersalah, tidak lantas berintrospeksi individual maupun kolektif apa sih kesalahan kita — tidak ingat Allah “ala kulli syai`in Qodir”, berkuasa atas segala sesuatu, dari lautan meluap hingga tetesan embun. Tidak ada ajakan wirid, dzikir, mengaji total, atau istighatsah dari NU, MUI maupun Muhammadiyah. Tidak ada pencerahan logical maupun spiritual. Tidak ada introspeksi, muhasabah atau apapun yang didorongkan oleh para pemimpin Agama. Dan kalau kemudian Tuhan memperkenankan seorang pasien Corona sembuh dan pulih, juga tidak ada suasana syukur, tidak ada sujud syukur, tidak ada “slametan” atau bentuk apapun yang mencerminkan ada hubungan antara manusia dengan Tuhan.
Benar-benar tidak masuk akal: Tuhan kok bukan mainstream perhatiannya manusia. Sukar dipahami bahwa manusia benar-benar makhluk berakal, berlogika dan memiliki cara berpikir.
Tuhan dipersona-non-grata-kan oleh alam pikiran manusia. Tuhan dimarjinalkan, bahkan mungkin ditiadakan oleh lingkup ingatan dan peta akal manusia. Juga tidak cukup terasa bahwa di dalam jiwa bangsa Pancasila ini ada implementasi Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Tuhan bukan baris teratas daftar skala prioritas manusia di dunia. Tuhan sangat dilecehkan.
Untung Tuhannya adalah Allah swt, yang karakter utamanya adalah Rahman dan Rahim, bahkan as-Syakur, Maha Bersyukur. Andaikan Tuhannya bukan Allah, yang mengutamakan hak mutlak-Nya untuk berlaku Al-Muntaqim, Maha Membalas, as-Syadid, Maha Menyiksa — bisa jadi korban Coronavirus akan dibiarkan sampai mencapai 30 juta penduduk dunia, sebagaimana Bill Gates pernah memperkirakan. ***
No comments:
Post a Comment