Renungan2 kita selama ini mengingatkan saya bhw jaman sekolah di Kuncen dulu, ada yg terasa hilang meski itu shrsnya jadi hak kita. Yaitu apresiasi kita thd sastera, apalagi tradisi itu hrsnya ada krn SMA N I Tld Yk itu kelanjutan AMS A atau SMA 1A, vak taal en literatuur (selain SMA negeri di Yk yg lain yakni 2A, 3B, 4B, 5C dan 6C). Biyen nek Bhs Indon sing sastera, anane mung ngapalke karo nyathet (neng PP1 jurutulisnya mbak Linda Agustin). Gak ada pemahaman, interpretasi, diskusi dll.
Sekarang kita makin sadar, kekuatan kata ternyata luar biasa, spt yg baru disampaikan dlm Renungannya bu Asti yl. Makanya saya terdorong melontarkan baris2 si pengolah kata angk 45, CA alias Chairil Anwar. Berikut satu lagi saya papar ya. Enjoy if you like, kalau tidak, di-delete juga gak papa.
Cemara menderai sampai jauh
Terasa hari jadi akan malam
Ada beberapa dahan di tingkap merapuh
Dipukul angin yang terpendam
Aku sekarang orangnya bisa tahan
Sudah lama bukan kanak lagi
Memang ada tertinggal beberapa bahan
Yang bukan dasar pertimbangan kini
Hidup hanya menunda kekalahan
Tambah jauh dari cinta-sekolah-rendah
Dan tahu, ada yang tetap tak terucapkan
Sebelum pada akhirnya kita menyerah
Bahkan bagi seorang Chairil pun, yang menyatakan diri sbg 'binatang jalang' dan 'mau hidup seribu tahun lagi', menyadari juga bahwa 'pada akhirnya kita menyerah'. Tidak ada yg dapat melawan keniscayaan yg bernama maut, maka yg dapat kita perbuat adalah agar maut datang kpd kita dgn indah, dgn menenteramkan, dgn akhir yg baik ...
CA mati muda, artinya kesadaran dlm puisi di atas diresapinya dalam usia muda pula. Sementara kita, tak seorang pun yang masih dapat disebut muda, setidaknya secara kronologis ...
em
No comments:
Post a Comment