INSTALL ULANG TATA KEHIDUPAN
Oleh :
Arif Satria
Rektor IPB
Pandemi Covid-19 yang bersifat global telah berdampak pada seluruh aspek kehidupan. Bermula hanya berdampak pada aspek kesehatan, kemudian meluas kepada aspek ekonomi, pendidikan, keagamaan, pemerintahan, dan pangan. Sejalan dengan tugas menjalankan ibadah bulan Ramadhan, tentu tugas kita adalah bagaimana menemukan hikmah dari bencana ini. Melihat karakteristik Covid-19 dan multiplier effect yang ditimbulkan, prasangka baik kita adalah bahwa Tuhan tidak saja sedang menguji kesabaran kita, tetapi juga sedang meminta kita untuk meng-install ulang tata kehidupan baru. Mengapa ?
Pertama, install ulang tata kehidupan ekologis
. Bumi sudah merasakan beban yang berat. Kerusakan lingkungan terjadi dimana-mana. Polusi udara, pencemaran sungai dan laut, sampah menggunung, deforestasi, dan bahkan pemanasan global telah kita rasakan. Seiring meningkatnya intensitas aktivitas ekonomi maka carbon footprint juga meningkat. Lapisan ozon makin menipis.
Namun kini sebagian besar orang berdiam di rumah dan menjalankan pekerjaan dari rumah. Akibatnya jalan sepi, pasar sepi, toko tutup, warung sepi, dan mobilitas sosial makin terbatas. Kemudian polusi udara teratasi, lapisan ozon membaik, langit makin bening biru, sampah berkurang, dan udara makin segar. Saat bumi beristirahat seperti sakarang ini, mestinya menjadi momentum kita untuk merenung: apakah ketika pandemi Covid-19 berakhir lalu alam yang sudah tenang seperti ini akan tetap tenang dan membuat hidup kita lebih nyaman dan sehat?
Semua tergantung kita, tapi sebenarnya Pandemi Covid-19 adalah pesan bahwa kita harus berubah dan memulai hidup dengan cara baru. Pandemi Covid-19 memberi pesan bahwa bumi harus istirahat agar kondisi lingkungan pulih. Adalah tugas kita untuk saat ini merancang bagaimana pemulihan lingkungan terus terjaga meski Pandemi Covid-19 telah berakhir.
Suatu saat di Los Banos saya bertemu dengan profesor dari Jepang yang bercerita tentang pendidikan ekologi manusia (human ecology) di Tokyo University. Beliau mengatakan bahwa pendidikan ekologi manusia ada di fakultas kedokteran, bukan di fakultas lingkungan. Ini memang agak aneh. Ternyata baginya menjaga kesehatan bukan persoalan tersedia-tidaknya obat. Rezim obat-obatan adalah masa lalu. Sebaliknya dia menegaskan bahwa ke depan kesehatan adalah akibat kondisi lingkungan. Bagi Jepang, harmoni dengan alam dan harmoni secara sosial adalah “obat” paling mujarab menjaga kesehatan kita, karena keduanya adalah sumber kebahagiaan. Jadi, kesehatan, kebahagiaan dan status lingkungan hidup semakin kuat tali temalinya.
Kedua, install ulang tata hidup sehat. Hidup sehat kini menjadi obsesi semua orang. Pandemi Covid-19 telah memaksa kita semua untuk mengubah cara hidup. Sebelum ini hand-sanitizer hanya kita gunakan saat keluar masuk ruang rawat inap rumah sakit. Cuci tangan dengan sabun sebelumnya hanya saat sebelum dan sesudah makan. Namun kini setiap saat orang mencuci tangan. Kini semua orang tahu apa itu hand-sanitizer dan menggunakannya setiap saat. Masker dulu hanya digunakan tenaga medis, kini digunakan semua orang. Hal ini karena kesadaran masyarakat makin meningkat tentang mobilitas virus. Kini orang berlomba-lomba untuk mengkonsumsi makanan yang bergizi untuk meningkatkan daya tahan tubuh, mengingat daya tahan tubuh adalah “obat” penangkal efektif Covid-19. Orang pun tanpa disuruh mulai rajin berolahraga dan berjemur.
Praktik baru tersebut sebagian besar merupakan bagian dari prinsip gizi seimbang. Dulu, para ahli gizi mempromosikan prinsip gizi seimbang hingga berbusa-busa. Namun kini orang dengan sendirinya telah menerapkan prinsip gizi seimbang meski tidak tahu bahwa yang dilakukannya adalah implementasi gizi seimbang. Dengan demikian Covid-19 telah memaksa kita meng-install ulang cara hidup kita dengan cara hidup sehat yang lebih baik.
Ketiga, install ulang tata kehidupan sosial-ekonomi. Solidaritas sosial makin berubah. Dulu individualisme orang perkotaan begitu menonjol. Kini empati mereka makin meningkat. Gerakan solidaritas untuk membantu korban ekonomi Covid-19 semakin marak. Aneka program donasi melalui media sosial berkembang secara spontan. Telah meningkat kesadaran kolektif bahwa musibah ini harus dihadapi bersama-sama. Solidaritas sosial ini merupakan modal sosial yang luar biasa. Masyarakat modern yang telah terspesialisasi, berhubungan dengan sesama atas dasar ikatan kontraktual, kini tergerak untuk bersama-sama atas dasar ikatan moral. Jiwa kemanusiaan makin tumbuh. Tata kehidupan sosial kota telah berubah.
Namun sebenarnya yang menarik adalah bukan semata solidaritas dalam konteks ekonomi. Bukan semata berbagi rezeki kepada golongan menengah ke bawah yang terkena dampak ekonomi Covid-19 tetapi solidaritas berbagi nilai moral dan ilmu. Seruan moral untuk membangun optimisme diviralkan melalui media sosial. Tips-tips untuk beradaptasi dengan situasi baru ini beredar dimana-mana. Berbagi nasehat dan berbagi ilmu tiap hari kita rasakan.
Keempat, install ulang tata kehidupan para pembelajar. Kini kita berlomba-lomba dalam inovasi. Ternyata musibah ini mendorong para pembelajar untuk mengerahkan ilmunya untuk memberikan solusi. Banyak inovasi bermunculan, baik inovasi peralatan medis, inovasi pelayanan medis, maupun inovasi obat-obatan. Musibah ini memberi pelajaran pentingnya mencari ilmu yang bermanfaat. Di saat-saat seperti inilah taruhannya pada kapasitas keilmuan kita. Ilmu bukan untuk unjuk kebanggaan tetapi ilmu untuk solusi. Karena itulah kesadaran para pembelajar makin meningkat untuk melakukan riset-riset transformatif, yakni riset-riset yang berdampak, dan bukan sekedar riset untuk riset. Install ulang mindset para pembelajar telah terjadi.
Kelima, install ulang kehidupan spiritual. Semula Tuhan dianggap terlalu jauh dari urusan duniawi, namun kini orang berusaha agar Tuhan hadir sedekat-dekatnya dengan kita. Kebetulan Pandemi Covid-19 terjadi pada bulan Ramadhan, semakin membuat proses install ulang spiritual kita makin sempurna. Salah satu proses refleksi spiritual penting adalah bahwa kita ternyata bukan siapa-siapa. Menghadapi virus kecil saja tak berdaya. Ilmu kita benar-benar hanya setetes air dari lautan luas. Disinilah kesadaran spiritual mulai tumbuh.
Semua tidak mungkin terjadi tanpa kehendak Tuhan. Kapan pandemi berakhir pun mesti dengan campur tangan Tuhan. Namun intervensi Tuhan untuk memulihkan keadaaan juga melalui proses-proses yang obyektif. Tuhan meminta kita tidak sombong dengan ilmu yang kita miliki, sehingga kita dengan rendah hati belajar dan belajar untuk menemukan cara pengobatan dan pencegahan Covid-19. Tuhan meminta kita untuk saling menolong. Tuhan telah meminta kita untuk menjaga alam. Tuhan telah meminta kita untuk mensyukuri nikmat yang telah Dia berikan. Mungkin hidup kita sudah kebablasan jauh dari koridor yang telah Tuhan tetapkan, dan mengabaikan sejumlah permintaan Tuhan tersebut.
Mungkin inilah cara Tuhan meminta kita untuk meng-install ulang tata kehidupan kita, agar kita makin bersyukur atas nikmat alam, nikmat kesehatan, nikmat ilmu dan nikmat iman. Kita telah dikaruniai akal dan hati. Mari kita gunakan untuk meng-install ulang tata kehidupan sebagai wujud syukur kita, dengan tatap didasari keyakinan bahwa kita bukan siapa-siapa di hadapanNya. Ikhtiar install ulang ini penting sebagai sikap tunduk kita pada QS Ar-Ra’d:11: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu sendiri yang mengubah apa yang ada pada diri mereka”.
Bogor, 28 April 2020
No comments:
Post a Comment