Setelah 25 tahun merampungkan studi S2-nya, gelar Yoyon Kusnendar Suprapto kini bertambah satu. Pada 23 September lalu ia dikukuhkan sebagai doktor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Terkait dengan bidang yang ditelitinya, Yoyon pun dijuluki Doktor Gamelan. Yoyon tak keberatan dengan julukan tersebut. Predikat itu disandangnya menyusul disertasinya yang berjudul 'Ekstraksi Suara Saron Berbasis Spectral Density Menggunakan Filter Multidimensi'. ''Saya ingin membakukan notasi gamelan,'' tutur pria kelahiran 25 September 1954 ini. Pada awalnya Yoyon tidak mengetahui ada perbedaan notasi pada gamelan, khususnya saron. Setelah mencoba langsung memainkan sejumlah gamelan, ia mendapati tiap gamelan menghasilkan bunyi notasi yang berbeda. ''Notasi do, misalnya, memiliki frekuensi suara yang beragam.''
Perbedaan tersebut sesungguhnya lumrah. Apalagi jika mengingat gamelan dikerjakan oleh empu secara tradisional. ''Mereka membuat gamelan tanpa memanfaatkan garputala sebagai alat penala,'' ungkap Yoyon. Empu gamelan, lanjut Yoyon, biasanya mengandalkan kepekaan telinga masing-masing dalam membuat alat musik orkestra tradisional Indonesia ini. Itulah yang menyebabkan ketidakseragaman gamelan. ''Namun, jika diperhatikan, frekuensinya memang bisa dirata-ratakan.'' Ambang toleransi untuk notasi do pada saron, contohnya, berada pada kisaran 510 Hz sampai 520 Hz. Ketiadaan standar baku untuk notasi membuat suara gamelan beragam sekali. "Kalau sudah tertera dengan baik, kita bisa mendapatkan notasi yang standar dari setiap empu gamelan," ucap Yoyon. Mengapa fokus pada saron? Yoyon menjelaskan saron merupakan instrumen yang dipakai sebagai notasi dasar permainan gamelan, ibarat bass pada sebuah band. "Namun, jauh lebih sederhana notasinya."
Hanya saja, Yoyon sadar ide pembakuan notasi itu tidak bisa dipaksakan penerapannya. Belum tentu para pembuat gamelan mengapresiasi temuannya. ''Tentunya kita tidak bisa mendesak pemberlakuan standardisasi gamelan seperti alat musik Barat.'' Dengan adanya standardisasi notasi ini, bukan mustahil gamelan dapat dibuat versi sintetisnya. Semacam organ, wujudnya. "Namun, tentu perlu dilihat lagi sejauh mana itu diperlukan," ucap Yoyon.
Sebetulnya, Yoyon kesulitan menjelaskan kepada dunia internasional tentang saron, kentong, dan gendang. Sebab, peralatan gamelan sulit dibawa. "Kalau ada sintetisnya tentu lebih mudah dipindah-pindahkan."
Fakta itu tidak serta-merta membuat penelitian Yoyon berkurang makna pentingnya. Ia optimistis suatu saat nanti ada yang mau memanfaatkan hasil risetnya. ''Yang penting, jika ada yang membutuhkan penyeragaman notasi gamelan, panduannya sudah ada.'' Sejauh ini, penelitian Yoyon belum disambut oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan setempat. Namun, masyarakat luas mulai mengenal sosok Yoyon lewat media massa. ''Saya terkejut apa yang saya teliti direspons positif oleh masyarakat,'' komentar dosen Jurusan Teknik Elektro ini.
Terpikat budaya
Di saat kebanyakan calon doktor memilih bidang lain untuk topik disertasinya, Yoyon terpanggil untuk mencermati alat musik tradisional Indonesia. Secara pribadi ia memang punya ketertarikan pada instrumen gamelan. ''Sejak usia 40 tahun, saya mulai tertarik dengan kebudayaan dalam negeri.''
Sebelum mengamati gamelan, Yoyon terlebih dulu mengupas tiga budaya tradisional Jawa dan Bali. Ia mengajak mahasiswa bimbingannya untuk membuat penelitian tugas akhir terkait kekayaan budaya daerah masing-masing. "Saya beri ide, mereka yang meneliti." Mahasiswa Yoyon awalnya berkerut kening mendengar topik yang disodorkan dosen pembimbing skripsinya itu. Namun, mereka cepat mencerna dan melihat korelasinya dengan bidang studi tekbik elektro. "Sepanjang tahun 1994 sampai 1995, tiga penelitian berlatar budaya kami hasilkan," cetus ayah tiga anak ini.
Mahasiswa asal Bali, contohnya, diajak Yoyon membuat kalendar upacara umat Hindu. Biasanya, hanya pedanda saja yang dapat membuat perhitungan upacara tiap banjar (desa). "Kalendar upacaranya bisa dibuat secara komputerisasi dengan menggunakan persamaan matematika," urai alumnus Institut Teknologi Bandung yang pada1978 merantau ke Amerika Serikat untuk meneruskan studi di bidang komputer di University of Missouri.
Masih dari kebudayaan Bali, Yoyon merangkul mahasiswanya untuk mendokumentasikan isi pesan di gulungan daun lontar. Tiap gulungan di scan lalu disimpan di komputerisasi. "Siapa pun yang ingin mempelajarinya bisa membaca versi bahasa aslinya dan bahasa Indonesia." Komputerisasi ini dapat membantu perbendaharaan pustaka daun lontar. Penelitian tersebut juga menerjemahkan huruf, kata, dan arti keseluruhan dari isi pesan yang dituliskan di atas daun lontar. "Mumpung yang mengerti masih ada, kita harus bantu melestarikannya," kata Yoyon yang diwisuda bertepatan dengan penyelenggaraan Wisuda Akbar 50 Tahun Jurusan Teknik Elektro ITS, Sabtu (2/10) kemarin.
Selain itu, Yoyon juga pernah mengembangkan huruf Jawa. Pemrosesan huruf dengan bantuan komputer ini dilakukan oleh mahasiswa yang skripsinya dibimbing dosen senior ini. "Sebelum dicaplok negara lain, kita harus lebih dulu meneliti dan mengembangkan budaya bangsa," tandasnya. ed: nina chairani.
Sumber:
http://koran.republika.co.id/koran/0/120165/Yoyon_Kusnendar_Suprapto_Julukannya_Doktor_Gamelan
Herbud:
Sobat-sobat TldJOG70 ysh...ysb...
Menghadiri sidang terbuka promosi doktor mas Yoyon Kusnendar, yang meneliti tentang Gamelan khususnya Saron...yang menurut para "Penyanggah" katanya termasuk desertasi yg langka/ fenomenal....Selamat utk mas Yoyon..selamat TldJOG70....
Hadir disini mbak Asti. Mas Hita,mbak Martin dan mbak Ajeng... Foto2 terlampir.
Wassalam Herbud.
Naniek SM:
nimbrung........
terlebih dahulu saya ucapkan selamat buat mas Yoyon (teman sekelas sejak kelas 1) aku bangga padamu.......
ngomong-2 soal gamelan wah aku baru tahu kalau bisa jadi bahan desertasi doktor, bisa diutak-atik dengan ilmu yang tuinggi...
padahal aku sejak kecil deket sekali dengan gamelan.. (eyangku dr Bapak & Ibu semua punya gamelan) dan aku jg bisa nabuh (yang paling simple memang nabuh saron), note-nya mudah diikuti...
setelah di Jkt aku dah tidak pernah lg nabuh gamelan, tp keluargaku di Yk masih melestarikan gamelan ...dan ditanamkan ke anak cucu semua agar ikut nguri-uri warisan leluhur tsb..... sehingga saat ini terbentuk paguyuban karawitan yang anggotanya anak/ cucu/ buyut dari eyangku. dan tiap acara pertemuan keluarga (spt syawalan) selalu ditampilkan........jd bisa bersilaturachmi di kel besar sambil nglaras.
Buat kami gamelan ya untuk dinikmati saja, ternyata sebagian ilmuwan pada sibuk mengadakan penelitian yang aduhai rumitnya.... tidak terbayangkan oleh kami.
No comments:
Post a Comment