Malam ini, Selasa 19 Okt 2010, aku baru saja selesai praktek jam 20.30 dan langsung menuju RS PKU, menjemput istriku yang kerja di bagian radiologi disana. Aku uring-uringan karena dia belum selesai juga. Masih harus baca 2 foto CT Scan dan beberapa foto thorax. Ketika akhirnya selesai cepat kami pulang karena sama-sama sudah capek (pagi kami kerja ke Magelang sampai sore). Ketika masuk di jalan Magelang. Tiba-tiba Hp ku berdering. Kulihat di layar, wuah si Hajar, mau ngajak nglukis besok? Moh, banyak kerjaan.
“Nu, Aminul meninggal. Kowe kudu neng Panembahan saiki! Aku neng kene”, kata-kata Hajar ini bagai palu godam memukul kepalaku. Langsung buyer pandanganku, kepyur2. Tapi Hajar tahu aku sekarang pakai ssopir semenjak kecelakaan Nopember tahun lalu itu, jadi ia enak saja menuruhku langsung ke Panembahan. Istrikupun kaget. Bukankah katamu Syawalan dia datang dalam keadaan sangat sehat? Apa kau tak memantaunya?, tanyanya. Sudah, Marni sudah tak hubungi untuk mengurusnya ke Sarjito. Akhirnya ia toh menurut ke Sarjito karena harus cuci darah tiap minggu Tapi mengapa....................Terbayang wajah teman2ku TLD70 semua.......Asti terutama...pasti menyalahkanku.
Karena istriku sudah kecapekan, apalagi bajunya putih-putih tak layak untuk layat, maka kuteruskan pulang dulu ke rumah, ngedrop dia dulu, lalu langsung nggeblas ke selatan, Panembahan. Panembahan adalah rumah masa kecil Ita Aminul. Di kompleks rumah pengusaha batik dan perak Cokrosuharto, masuk plengkung Wijilan. Di rumah inilah Aminul tinggal ketika mereka kawin dulu. mBatak masuk kompleks njeron beteng kraton Jogya. Cukup kontroversial dulu. Tapi begitulah cinta. Mau apa coba?
Sampai di Panembahan di depan gedung megah Cokrosuharto, nampak sepi dan gelap, tak ada tanda-tanda kehidupan. Segera kutelpon Hajar.
“Wuah, gendheng kowe. Dudu kono. Omahe Ita ki mburine. Ana dalan lore Cokrosuharto kuwi ngwtan bablas, njur Gedung Joglo, kekanan. Aku wis mulih lho Nu, lha kowe tak enteni ra teka2”,. Kata Hajar. Okelah. Sopirku mengundurkan mobil lalu masuk ke jalan ke timur dan belok kanan. Sudah nampak mobil2 berderet, cukup ramai. Aku turun langsung berjalan ke mulut gang, dan lalu masuk gang ke timur lagi.
Orang2 berjejer di kiri kanan gang pada kursi berderet-deret. Pasti disinilah anak turun Cokrosuharto bertempat tinggal. Dan Ita pasti membawa jenazah Aminul kesini karena rumahnya di kompleks perumahan itu sempit selain terpendil. Semua saudara-saudaranya disini.
Aku berdiri termangu dalam kegelapan. Diantara kerumunan orang2 yang tak mengenalku. Tiba2 seorang gadis tinggi berlari. Menubrukku, mencium tanganku, Dan menangis tersedu-sedu. Inilah anak perempuan Aminul. Diikuti gadis lain, kakaknya, mahasiswi komunikasi UNS. Kedua gadis ini kupeluk, mereka menangis ngguguk, menceritakan saat2 terakhir ayahnya. Anak-anak perempuan Aminul ini tinggi-tinggi, badan sintal padat, dengan wajah prototip Batak. Kotak persegi dan cantik.
Mereka ketemu aku dan bicara panjang lebar ketika menunggui bapaknya, di JIH maupun rumahnya. Segera kuingat Kak Nana, kakak perempuan Aminul yang tinggi besar dan cantik dan si Butet, adik Aminul perempuan. Keduanya sangat mirip dengan anak-anak ini. Juga anak-anak laki-laki Aminul, semuanya tinggi-tinggi berbadan atletis. Mirip Aminul sendiri atau kakak-kakak laki-laki Aminul dan Sidik, adiknya yang semuanya telah tiada. Aminul terhitung pendek dibanding anak-anaknya. Tapi genetik dan genotip Aminul sangat kuat memancar pada anak-anaknya. Tak nampak sama sekali raut-raut wajah Jawa njeron beteng dari ibunya. Meski Itapun terhitung tinggi untuk wanita.
Menurut anak-anaknya, sejak keluar dari JIH dulu, Aminul sudah 17 kali cuci darah. Tiga kali di JIH dan yang 14 kali di RS PKU. Lho. Rupanya Aminul sudah pindah kontrol rutin ke RS Sarjito pada dokter-dokter penyalkit dalam disana. Tapi oleh dokter-dokter Sarjito ini dia dianjurkan cuci darah di PKU saja mengingat di Sarjito antrenya panjang. Dan PKU adalah satu2nya RS Swasta di Jogya yang menerima Askes PNS (Askesos) full, bahkan juga Askeskin (Jamkesmas). Meski yg terakhir ini sejak dua bulan lalu dihentikan. Tapi Askes PNS masih jalan dan full. Nah selama cuci darah 17 kali ini Aminul tak pernah mondok lagi. Nampak segar setiap kali habis cuci darah.
Dan Senin kemarin Aminul masih njagong ke Wonosari Gunungkidul menemani istrinya. Ia sehat sekali. Bapak nampak segar, gagah dan ganteng, kata kedua anak gadisnya itu. Tak tahunya itulah penampilan sehat bapak yang terakhir. Karena Selasa pagi tadi, bapak seseg dn lemas, lalu kami bawa ke PKU. Ureum dan kreatininnya tinggi (ureum sampai 300). Bapak harus segera cuci darah. Selesai cuci darah siang, baik.
Mendadak maghrib tadi bapak tersengal dan kejang-kejang. Dokter jaga dan perawat ribut, kasih hentakan untuk macu jantungnya. Sempat di EKG pula. Lalu bapak tak bergerak lagi. Kedua cewek itu terhisak-hisak. Tak sempat dibawa ke ICU?, tanyaku. Tak sempat Om, kata perawat bapak telah tiada. Yah, serangan jantung akut. Aminul memang sudah Decomp cordis, sebagai akibat gulanya yang tinggi dan sumbatan di parunya, lalu ginjalnya pula yang kena.
“Ibu lebih tabah dari kami Om, karena ibu tak melihat saat-saat terakhir bapak”,kata anak-anak Aminul itu masih dgn tersedu-sedu. Sudahlah, bapak sudah baik sekarang disana kan?,kataku pula sambil mengelus-elus kepala dua gadis itu. Ya, kedua gadis ini pasti mengharapkan bila mereka menikah kelak, bapaknya masih ada merestuinya. Tapi Tuhan memutuskan lain. Bisa kubayangkan bila aku mati sekarang, tentu Sonia anakku akan seperti mereka pula.
Sebagai wanita Jawa, Ita jelas sudah pasrah sejak dulu mendampingi Aminul yang sakit berat dan khronik, tanpa pekerjaan lagi. Penderitaan hidup sudah tak dirasakannya lagi. Sehingga saat seperti inipun ia sudah siap dan itu yang membikinnya nampak tabah. Kulihat disana ia berdiri diambang pintu menunjuk kesana-sini berbicara lancar dgn bapak-bapak panitia pemakaman. Ia tak sempat menangis.
Lalu aku jalan mendekat ke rumah. Menyalami Ita. Ia mbrabak juga melihatku. Makasih untuk segalanya ya Pak. Ia tak bisa bicara banyak. Aku segera masuk ke ruang tamu kuna yang luas itu. Jenazah Aminul terletak agak ke sudut. Ibu-ibu duduk melingkar di lantai. Jenazah Aminul tertutup kain hijau bertuliskan huruf Arab, khas RS PKU. Dalam balutan kain hijau bertuliskan kuning emas itu tubuh Aminul masih nampak besar dan perkasa.
Ya keperkasaan tubuh olahragawan inilah yang membikin ia populair dulu, selain sifatnya yang sangat ramah dan rendah hati. Siapa anak Teladan tak kenal Aminul Safrudin waktu itu? Ia tinggal di kampung Semaki Gede, di Jalan Kapas. Sedang aku di Jl Cendana. Bapaknya pejabat di Kantor Pajak dan Keuangan yg cukup kaya. Aminul berangkat sekolah bersepeda dgn sepeda jengki yg sadelnya ditarik ke atas pol.
Aku dgn sepeda onthel laki-laki bapakku. Demikian pula si Babal, Dharsono. Kami selalu bersama-sama. Dari Semaki Gede ke Kuncen. Kadang sehari dua kali pulang pergi bila ada acara krida sore hari. Dari timur, Sugito dan Naniek ikut bergabung. Kaadang pula Martin Barienti, dan Rima. Ya Rima, aku masih mengingatnya aku bersepeda di belakangnya. Zuchron mencegat di Pakualaman dan ikut bersama-sama pula.
Apakah keistimewaan Aminul hungga ia demikian polulair pada pergaulan waktu itu?Apakah karena ia pemain voley dan basket yang handal? Setelah penjurusan, pergaulan kamipun seakan terpisah. Anak Paspal dengan Paspal dan Sosbud dengan Sosbud. Aminul tidak. Ia masuk Paspal, sekelas denganku, tapi pergaulan dengan anak Sosbud jalan terus. Ia punya gerombolan tersendiri. Gerombolan besar yg terdiri anak2 Paspal dan Sosbud. Semua mengitarinya.
Bila Didiek, Muchtar, Andi, dgn kelompoknya sendiri, kelompok sepedamotoran. Aminul tidak. Kelompok sepreda motor dan sepeda gabung jadi satu, temannya Aminul! Hardono, Baron, Murtiyanto, Hartono, Jayeng Tri Joko, Poernomo, Antony, dll adalah gerombolan Aminul selain kelompok Pramuka seperti aku, Babal, Prabowo, Edmart, Heru, dll.
Aminul juga pendukung setia kelompok THA, ketika aku dipanggil kepala sekolah Pak Budiharjo dan dimarahi habis2an di lantai dua ruang kepala sekolah ketika akan “Hiking” ke Gua Kiskendo dengan membawa 110 siswa putri dan 90 siswa putra. Siapa yg bertanggungjawab? Batalkan, kata Pak Budiharjo. Tapi Aminul dengan gerombolan besarnya yg rata2 anak2 tegap yg siap berkelahi mendukung kami, kelompok THA. Dan berlangsunglah semua kegiatan THA dgn lancar tanpa korban. Hidup sampai sekarang. Diam-diam sebagian karena jasa Aminul dengan gerombolannya. Pak Giarto yg suka nggaya dan sok pahlawan itu cuma nimbrung saja mendukung THA, pendukung sesungguhnya adalah “The Gangs of Aminul”.
“Baiklah, kau tlah pergi mendahului kami, Nul. Kau adalah temanku terbaik sejak kita masih bercelana pendek. Kau mendukung semua kegiatanku di Teladan. Kami, semua teman2mu sangat mencintaimu, Nul. Sampai berpuluh tahun kemudian. Dan itu sudah kami buktikan dgn apa yg kami bisa berikan kemarin dari teman2mu di Surabaya, Jakarta, dan Jogya. Mereka tak bisa datang besok di pemakamanmu. Tapi percayalah, kau tetap hidup di hati kami semua. Dan kami tetap mengharapkanmu di setiap reuni mendatang. Sudah kami maafkan semua kesalahanmu dan selamat jalan menghadap Tuhan, kawan. Kami semua toh akan menyusulmu kelak”,.demikian bisikku pelan di samping tubuh Aminul sambil bersimpuh di lantai.
Setets air mata mengalir dan cepat2 kuusap. Tak seorangpun yang memperhatikan kami berdua.Semua sibuk bercakap-cakap di pojok sana. Lalu kuucapkan sebisa-bisaku doa pada Tuhan ddengan segala bahasa untuk Aminul. Kuraba-raba kain hijau PKU itu dan selesai. Cepat aku berbalik menyelinap keluar. Aku harus segera telpon Edmart dan Surya. Sialan. Mengapa Hajar telpon Ki Demang berkali-kali tak masuk?. Lagi ke luar Jawa atau keluarnegri? Biar sampai ke ujung dunia kan kutilpon dia. Dan aku kaget dengar suara Edmart yg berat di Hpku.
Ia barusan sore tadi datang dari Mataram dan ditilpun Zuchron. Oh, syokurlah. Ia akan datang esok pagi karena siangnya mengajar. Dan kemudian Yang Ti. Segera kudengar suara Surya. Renyah dan lembut seperti biasanya, cuma sekarang agak sendu. Ia pasti ingat betapa berbahagianya Aminul bisa datang diantara kami semua dalam Syawalan kemarin. Surya tadi di telpon Hajar dan ia bahkan bisa datang di PKU dan ikut mengiringkan jenazah Aminul dibawa ke Panembahan. Surya menungguku disana dengan Hajar, tapi pulang karena aku lama tak datang juga.
Aminul sesungguhnya ingin dimakamkan satu lubang dengan ibunya di makam Semaki Gede yg padat, tempat bapak ibuku dimakamkan pula. Tapi, kata anak2nya, nenek bukan milik bapak sseorang. Ia milik ke sembilan anaknya. Jadi Aminul dimakamkan di Godean, makam tempat banyak saudara Ita dikuburkan. Besok jam 13.00. Waduh. Bulan ini aku ketambahan Bangsal Gaduh Gelisah, selain tiga bangsalku yg lain. Berarti besok 20an pasien gaduh gelisah harus tak “stroom” pagi-pagi, sisanya tak suruh ikat di tempat tidur dan tak suruh suntik pagi sore dosis tinggi, supaya aku bisa pulang ke Yogya jam 11.30 untuk menghadiri pemberangkatan jenazah.
Esok harinya, Rabu siang 20 Okt jam 13.00 tepat aku tiba di Panembahan. Dua bis besar dan mobil2 sudah berderet, pidato2 pemberankatan jenazah. Dan jenazah lalu diangkat dimasukkan ambulans. Aku masih sempat memotretnya. Lalu ribut para pelayat menguntapkan jenazah. Aku ketemu dan bersalaman dengan Kak Nana dan Butet adik Aminul. Ita dan anak2nya sudah masuk ke mobil. Tak kulihat Daim, adik laki-laki Aminul yg masih hidup. Lalu Pak Hadiwarno, yang berbisik memintaku ceramah pada kelompok usia lanjutnya. Lalu adik kelas si Tri Agus dan istri, dan Tri Joko Jayeng. Tak kulihat si Zuchron, dan teman2 lain juga tak nampak, mungkin sudah pada pulang.
Darsono Babal merangkul pundakku dan menarikku ke tepi jalan. Ia tercenung mengingat-ingat masa lalu.“Kau masih ingat Nu, dulu waktu kita masih bercelana pendek kita berdesak-desakkan nonton TV hitam putih dari luar jendela rumah Aminul. Sekampung Semaki Gede yg punya TV Cuma Aminul. Ayahnya, Gani Nasution, orang paling kaya di kampung. Tapi lalu, perjalanan hidup Aminul setelah lulus SMA seperti itu. Mulai anaknya yang lahir kembar itu, lalu perkawinannya, lalu studinya yg tak jadi, lalu tak ada kerjaan yang pasti, lalu penyakit2nya....Ah “, bisik Darsono pelan ditelingaku.
“Eh, tapi ia cukup bahagia lho. Ia mencintai dan dicintai istrinya yang setia merawatnya sampai akhir hayatnya.....dan lihat anak2nya itu...si kembar laki-laki sudah kerja semua di Jakarta....dan dua anak gadisnya itu sebentar lagi selesai studinya dan mungkin segera menikah...nah, jadi orang semua...yang mandiri, mau apa lagi?”, kataku.
“Eh, Iya,iya.....anak2nya cakep2 ya....yang laki-laki gagah2 dan tampan.......wanitanya manis-manis dan tinggi....”, kata Darsono menghibur dirinya yg sedih memikirkan Aminul.
Ya, anak-anak yg baik dan soleh, yang sangat mencintai dan menghormati bapaknya dan pasti sangat kehilangan meski bapaknya cuma terbaring terus menerus ditempat tidur. Kuusap setetes airmata disudut mataku. Kulihat Darsono juga ucek-ucek matanya.
Selesai sudah pemberangkatan jenazah ke makam. Kulihat dari kejauhan irirng-iringan dua bis dan mobil2 yang mengawal ambulans Aminul ke tempat peristirahatannya terakhir.
Selamat jalan Nul, sahabatku dan semua teman2ku TLD70. Yah, Kebahagiaan dan penderitaan adalah sama saja. Kau telah bebas sekarang dan tersenyum bahagia menghadap Tuhan. Semoga diampuni segala dosa dan kesalahanmu dan kuyakin kau akan diterima disisi Tuhan. Selamat jalan, kawan. Kau telah bebas dan sehat sekarang. Kau akan tertawa gembira melihat kami Syawalan tahun depan dan depannya lagi. Kau akan bahagia hadir di setiap reuni kita...................
Tiba-tiba terngiang keras kata-kata Jumhan di akhir syawalan kemarin: “Hahaha.....sepuluh tahun lagi mungkin kita datang syawalan ssudah pake teken.....Atau mungkin cuma cucu kita yg datang.......simbah lagi anfal......hahaha.......ya kita toh akan dipanggil satu persatu......dan Edmart si tukang mencatat bukan berarti dia yang paling akhir dipanggil.........hahahahaha...”. Benar. Itu sangat benar. Tapi aku bergidik ngeri mendengarnya. Hal yg tak ingin kupikirkan dan tak ingin kuingat-ingat, malah dikatakan dengan keras. Wuah. Benar-benar ingin kucekik leher temanku yang sangat kusayangi sejak dulu itu.*****
Inu Wicaksana
20 Okt 2010
Popongan, Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta.
In Memoriam
No comments:
Post a Comment