Puasa merupakan ritual paling tua pada semua keyakinan keagamaan. Tuhan berfirman, “Diwajibkan kepadamu puasa seperti diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu semua bertakwa”. Ayat-ayat sejenis ini bersama hadis semakna hampir pasti diulng kaji setiap Ramadhan. Masalahnya, apakah makna ayat-ayat dan hadis itu sama dengan makna tahun-tahun sebelumnya? Jawabannya harus terkait dengan fungsi makna ayat dan hadis itu dengan kehidupan aktual.
Puasa, sebagai kegiatan ibadah dalam Islam,sebagaimana juga dalam agama lain, selalu mengandung dua dimensi : esoteris dan eksoteris. Dimensi esoteris sifatnya sangat pribadi (private), tujuan akhirnya mendekat dan menyatu dengan Tuhan dengan jalan mensucikan diri, menjauhkan pikiran, ucapan dan tindakan yang tidak terpuji.
Dimensi eksoteris, yaitu implikasi lahir, bahwa orang beragama dituntut melaksanakan perintah agama dengan baik, terukur dan dapat diamati, yang tujuan akhirnya untuk membentuk karakter dan kepribadian mulia sehingga perilaku keberagamaan seseorang mendatangkan manfaat dan kebaikan bagi sesama manusia. Dengan demikian dimensi iman selalu mengansumsikan munculnya kesalehan sosial.
Dalam tradisi Kritiani, kedua dimensi ini disimbulkan dengan “salib”, yang satu ke arah vertikal, yang lainnya horizontal. Dalam Islam dituangkan dalam frase “hablun minallah, wa hablun minannas”. Mendekat dan berbakti pada Tuhan harus juga membuahkan kebaikan dan pelayanan pada sesama manusia.
Makna penting ritual puasa bukan sekadar lapar tidak makan dan haus tidak minum selama sekitar 12 jam. Puasa lebih bermakna bagi orang kaya dan berkuasa ketika tersedia makanan minuman berlimpah ketika orang-orang sekitar tertunduk patuh. Bagi orang miskin dan tak berkuasa, mereka sudah terbiasa tidak makan minum dan tidak marah.
Pengalaman paling berharga dari puasa ialah ketika seseorang memperoleh kearifan menembus batas kemanusiaan sehingga terbukalah tabir atau hijab dunia materi atau jasad-wadag. Dalam tradisi Sufi inilah yang disebut kasif, saat seseorang mampu melihat jauh ke masa depan di balik yang kasat mata bagaikan malaikat.
Orang Jawa menyebut waskitha, weruh sakdurunge winarah (tahu sebelum kejadian), jalmo limpat seprapat prasasat tamat (sebagian berarti keseluruhan). Itulah maqam (kedudukan) nabi, aulia, dan orang suci yang selalu lahir dalam setiap episode sejarah peradaban. Mereka menembus batas zamannya, menciptakan orde dan peradaban baru. Dengan kasyf orang mampu bertindak yang mustahil dilakukan oleh orang yang masih terkungkung hijab materi ketubuhannya.
Orang yang terbelenggu materi sering tidak percaya diri, meminta pengakuan bahwa dia kaya, selebriti, presiden, menteri, gubernur, bupati, anggauta dewan perwakilan rakyat yang terhormat, dan lain lain. Mereka lebih membutuhkan pengakuan status daripada memenuhi tanggung jawab memenuhi hajat publik jika dirinya tidak kebagian.
Puasa 2011 ini masih berlangsung dalam suasana bencana alam yang bisa menjadi pertanda negeri ini menjalani siklus satu abad atau ribuan tahun. Magma gunung berapi di seantero Nusantara seolah sedang menembus permukaan sebagai pengantar memasuki siklus seribu tahun lalu yang konon sempat menghancurkan kerajaan besar di Jawa Tengah sehingga pindah ke Jawa Timur.
Mayoritas pejabat negeri ini tentu berpuasa pula. Namun apakah mereka memikirkan seberapa besar bantuan yang bisa diberikan kepada masyarakat korban bencana gunung berapi yang hancur rumah dan sawah ladangnya? Apakah para pejabat itu, dan kita sendiri, memikirkan bagaimana sesama kita korban bencana alam itu harus bertahan hidup, makan tiap hari, berteduh, membangun desa dan sawah ladang tempat mata pencaharian mereka kembali? Apakah para pejabat itu, dan kita sendiri, sudah menembus batas melampaui sekedar hasrat kuasa, makan minum, pengakuan sosial, dan memikirkan penderitaan manusia lain?
Tuhan menurunkan wahyu-Nya, menjamin kesejahteraan, kemakmuran, dan ketenteraman yang beriman bukan otomatis tanpa kehendak manusia sendiri. La”llakum tattaqun (supaya dengan puasa engkau semua bertakwa) dalam ayat tentang puasa bukan puasa fisikal, tapi perlu kesadaran spiritual atau rohaniah.
Itulah maksud muhaasabah dalam menjalani puasa, yaitu kehadiran diri secara keseluruhan, bukan sekadar tak makan minum dan bicara kotor.
Dalam filsafat modern, manusia dipandang sebagai rantai terakhir perkembangan penghuni bumi. Agama, khususnya Islam, memandang manusia memiliki malaikat, bahkan ilahiah. Puasa adalah jalan tembus batas kemanusiaan agar sampai ke wilayah malaikat dan ketuhanan sehingga mampu bertindak lebih dari sekadar manusiawi karena telah terbuka hijab-jasadiahnya. Dari sini seseorang bisa bertindak luar biasa hebat, bukan untuk kepentingan sendiri, melainkan juga bagi kepentingan orang lain yang tak ia kenal, untuk orang banyak, bahkan mereka yang memusuhi dan hidup di masa depan.****
@inukertapati, tweeter.
Jogja Institute for Mental Health (JIMH).
No comments:
Post a Comment