Sunday, October 31, 2010

Mbah Maridjan dan Gunung Merapi

JAKARTA, KOMPAS.com — Mbah Maridjan (83), sebagai juru kunci Gunung Merapi, lebih banyak melihat fenomena menggunakan naluri yang merujuk pada kebiasaan niteni (memerhatikan).

Keyakinannya tentang ancaman bahaya letusan Gunung Merapi yang hampir tidak pernah merambah Dukuh Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta, memberikan pelajaran niteni bahwa lingkungan alam di sisi selatan Gunung Merapi masih merupakan benteng pertahanan bagi warganya.

Dalam kosmologi keraton Yogyakarta, dunia ini terdiri atas lima bagian. Bagian tengah yang dihuni manusia dengan keraton Yogyakarta sebagai pusatnya. Keempat bagian lain dihuni oleh makhluk halus. Raja bagian utara bermukim di Gunung Merapi, bagian timur di Gunung Semeru, bagian selatan di Laut Selatan, dan bagian barat di Sendang Ndlephi di Gunung Menoreh.

Namun, jauh dari ungkapan-ungkapan itu, ada suatu keyakinan yang hidup di dalam masyarakat di sekitar Gunung Merapi bahwa gunung dengan segala macam isinya dan makhluk hidup yang mendiami wilayah ini menjadi suatu komunitas. Karena itu, ada hubungan saling menjaga dan saling melindungi.

Ketika salah satu anggota mengalami atau melakukan sesuatu, dia akan memberi "isyarat" kepada yang lain dan dia akan memberitahukan kepada yang lain. Demikian pula ketika Merapi "batuk-batuk", dia juga memberi isyarat kepada yang lain, termasuk kepada Mbah Maridjan.

Barangkali karena saat itu belum menerima isyarat, Mbah Maridjan berpendapat bahwa Merapi tidak akan melakukan sesuatu. Selanjutnya, Mbah Maridjan tidak mau diajak mengungsi (meninggalkan Gunung Merapi).

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Mbah Maridjan (83) sebagai juru kunci Gunung Merapi memang fenomenal dan dikenal ke manca negara. Juru kunci yang sudah menjaga Merapi sejak 1965 kemudian diangkat resmi oleh Sultan Hamengku Buwono IX tahun 1974 tersebut bergelar Penewu Surakso Hargo dan tetap setia tinggal di Kinahrejo, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman.

Selain banyak tokoh pernah mengunjungi Mbah Maridjan di kediamannya, ternyata kakek ini juga sempat menjadi video klip lagu campur sari, selain tentu saja bintang iklan Sido Muncul yang terkenal "Rosa Rosa" itu.

Dalam video klip lagu Campur Sari berjudul MBAH MARIDJAN ciptaan Cak Dikin, tampak Mbah Maridjan tampil santun dan merendahkan diri.

"Kepada Mbah Maridjan hormaaat Grakk," Demikian awal lagu itu sebagai penghormatan kepada Mbah Maridjan.

Mbah Maridjan mengenakan baju sorjan garis coklat sedang lewat di depan barisan sinden dan Cak Dikin yang berbaris memberi penghormatan. Cak Dikin sedikit membungkukkan badan dan menundukkan kepala, memberi hormat kepada Mbah Maridjan yang mengenakan baju sorjan garis coklat dan beskap Jogja.

Sebelum lewat depan rombongan penyanyi campur sari itu, Mbah Maridjan juga bungkuk badan dulu pertanda orang yang menghormati sesama. Cak Dikin mengenakan blangkon khas Jawa Timuran bersama Wiwid W, Suji Danasmoro, Eva, Vika dan Vino.

Memang Mbah Maridjan tidak ikut nyanyi, hanya senyum dan terus menebar senyum tulus. Bahkan saat duduk di kursi sofa di rumahnya, dia diapit oleh Cak Dikin dan Wiwid hanya senyum saja.

Dalam video klip ini, Cak Dikin mengambil latar dengan background gunung Merapi, dan di rumah Mbah Maridjan dengan jendela khas warna hijau tua kotak-kotak krem tipis. Lagunya terdengar semangat walau tetap tergolong campur sari Jawa.

Lirik lagu ini menggambarkan betapa Mbah Maridjan menetapi hidup sebagai lelaki Jawa yang perkasa, lugu dan bersahaja. Dia tokoh pemberani dan disegani karena keteguhannya mempertahankan prinsip akan amanah yang diemban.

Sebagai juru kunci Merapi, Mbah Maridjan sering dijuluki Semelekete Gunung Merapi. Sehingga pembicaraan atau pemberitaan gunung di perbatasan Jogja dan Jateng ini serasa tak lengkap tanpa Mbah Maridjan.

Sebagai orang yang menepati tugas tugasnya sebagai juru kunci yang berat, Mbah Maridjan juga dikenal rosa (kuat) walau di usia 83 tahun tapi tetap tegar. Lagu itu menyebut berkatk doa Mbah Maridjan, gunung Merapi batal meletus. Artinya, ketika Mbah Maridjan memohon kepada Tuhan agar membatalkan atau menunda Merapi meletus, akhirnya dikabulkan.

Sekarang Mbah Maridjan sudah wafat dalam keadaan sujud dan telah pun dikuburkan. Siapa yang akan dipercaya Sultan HB X dan masyarakat Jawa umumnya untuk menjadi juru kunci gunung paling aktif ini. Yang jelas, walau Mbah Maridjan sudah tiada, tapi nama dan semangatnya akan tetap hidup, minimal tercantum dalam tembang campur sari tersebut. (*)

Penulis: widodo
Editor: widodo


1 comment:

  1. Pak Djendro,
    Terimakasih atas kejelian memilih artikel yang sangat menarik tentang si eMbah namun netral tanpa mengkultuskan ataupun menebar mistik. Mbah Marijan memang sangat fenomenal. Semoga arwah almarhum mendapat tempat terbaik di sisi Allah swt, sebagai hamba Allah yang khusyuk bersujud pada saat maut menjemput.. semoga awan panas itu tak terasa menyakitkan baginya.. amin..

    ReplyDelete