Saturday, April 4, 2020

Indonesia Negara Tropis Kebal Corona? Ini Fakta Riset BMKG dan UGM



Indonesia Negara Tropis Kebal Corona? Ini Fakta Riset BMKG dan UGM
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan Universitas Gajah Mada (UGM) menemukan indikasi pengaruh cuaca dan iklim dalam mendukung penyebaran wabah Covid-19 setelah melakukan kajian berdasarkan analisis statistik, pemodelan matematis, dan studi literatur tentang pengaruh cuaca dan iklim.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyampaikan kajian ini dilakukan oleh Tim BMKG yang diperkuat oleh 11 Doktor di Bidang Meteorologi , Klimatologi dan Matematika, serta didukung oleh Guru Besar dan Doktor di bidang Mikrobiologi dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM.

Meningkatnya kasus pada gelombang kedua saat ini di Indonesia tampaknya lebih 
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan Universitas Gajah Mada (UGM) menemukan indikasi pengaruh cuaca dan iklim dalam mendukung penyebaran wabah Covid-19 setelah melakukan kajian berdasarkan analisis statistik, pemodelan matematis, dan studi literatur tentang pengaruh cuaca dan iklim.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyampaikan kajian ini dilakukan oleh Tim BMKG yang diperkuat oleh 11 Doktor di Bidang Meteorologi , Klimatologi dan Matematika, serta didukung oleh Guru Besar dan Doktor di bidang Mikrobiologi dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM.

“Hasil kajian tersebut menunjukkan adanya indikasi pengaruh cuaca dan iklim dalam mendukung penyebaran wabah Covid-19, sebagaimana yang disampaikan dalam penelitian Araujo dan Naimi (2020), Chen et. al. (2020), Luo et. al. (2020), Poirier et. al (2020), Sajadi et.al (2020), Tyrrell et. al (2020), dan Wang et. al. (2020),” ungkapnya dalam siaran pers yang dikutip Bisnis, Sabtu (4/4/2020).

Di mana, dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan sementara bahwa negara dengan lintang tinggi cenderung mempunyai kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara tropis.

Sementara itu, melalui penelitian Chen et. al. (2020) dan Sajadi et. al. (2020) menyatakan bahwa kondisi udara ideal untuk virus corona adalah temperatur sekitar 8 - 10°C dan kelembapan 60%-90%.

Artinya, dalam lingkungan terbuka yang memiliki suhu dan kelembaban yang tinggi merupakan kondisi llingkungan yang kurang ideal untuk penyebaran kasus Covid-19.

Para peneliti itu menyimpulkan bahwa kombinasi dari temperatur, kelembapan relatif cukup memiliki pengaruh dalam penyebaran transmisi Covid-19.

Selanjutnya penelitian oleh Bannister-Tyrrell et. al. (2020) juga menemukan adanya korelasi negatif antara temperatur (di atas 1°C) dengan jumlah dugaan kasus Covid-19 per hari. Mereka menunjukkan bahwa bahwa Covid-19 mempunyai penyebaran yang optimum pada suhu yang sangat rendah (1 – 9°C).
Hal ini mengindikasikan bahwa makin tinggi temperatur, maka kemungkinan adanya kasus Covid-19 harian akan semakin rendah.

Sementara itu, pada penelitian Wang et. al. (2020) menjelaskan pula bahwa serupa dengan virus influenza, virus Corona ini cenderung lebih stabil dalam lingkungan suhu udara dingin dan kering.

Kondisi udara dingin dan kering tersebut dapat juga melemahkan imunitas seseorang, dan mengakibatkan orang tersebut lebih rentan terhadap virus sebagaimana yg dituliskan dalam studi tersebut.

Demikian pula pada penelitian Araujo dan Naimi (2020) memprediksi bahwa dengan model matematis yang memasukkan kondisi demografi manusia dan mobilitasnya, disimpulkan bahwa iklim tropis dapat membantu menghambat penyebaran virus tersebut.

Terhambatnya penyebaran virus dikarenakan kondisi iklim tropis dapat membuat virus lebih cepat menjadi tidak stabil, sehingga penularan virus Corona dari orang ke orang melalui lingkungan iklim tropis cenderung terhambat, dan akhirnya kapasitas peningkatan kasus terinfeksi untuk menjadi pandemik juga akan terhambat.

Tim Gabungan BMKG-UGM pun mengindikasikan bahwa cuaca dan iklim merupakan faktor pendukung untuk kasus wabah ini berkembang pada outbreak yang pertama di negara atau wilayah dengan lintang linggi, tetapi bukan faktor penentu jumlah kasus, terutama setelah outbreak gelombang yang kedua.

“Meningkatnya kasus pada gelombang kedua saat ini di Indonesia tampaknya lebih kuat dipengaruhi oleh pengaruh pergerakan atau mobilitas manusia dan interaksi sosial,” kata Dwikorita.

Fakta itu terlihat dari terjadinya lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia sejak awal Maret 2020. Padahal Indonesia terletak di sekitar garis khatulistiwa dengan suhu rata-rata berkisar antara 27- 30°C dan kelembapan udara berkisar antara 70% – 95%.

Dari kajian literatur tersebut kondisi lingkungan Indonesia sebenarnya tidak ideal untuk outbreak Covid-19.
Peningkatan lonjakan kasus diduga akibat faktor mobilitas manusia dan interaksi sosial yang lebih kuat daripada faktor cuaca dalam penyebaran wabah Covid-19 di Indonesia.

Akhirnya, laporan Tim BMKG-UGM merekomendasikan, apabila mobilitas penduduk dan interaksi sosial ini benar-benar dapat dibatasi, disertai dengan intervensi kesehatan masyarakat, maka faktor suhu dan kelembapan udara dapat menjadi faktor pendukung dalam memitigasi atau mengurangi risiko penyebaran wabah tersebut.

Hasil kajian Tim BMKG dan UGM ini juga merekomendasikan untuk terus menjaga kesehatan dan meningkatkan imunitas tubuh, dengan memanfaatkan kondisi cuaca untuk beraktivitas atau berolahraga pada jam yang tepat.
“Terutama di bulan April hingga puncak musim kemarau di bulan Agustus nanti, yang diprediksi akan mencapai suhu rata - rata berkisar antara 28°C hingga 32°C dan kelembapan udara berkisar antara 60% s/d 80%,” tuturnya.

Sumber: Binis.com
Editor : Hendri Tri Widi Asworo

No comments:

Post a Comment