(di FB kutulis Reuni Alumni SMA Teladan Jogya Angkt70 di Green Canyon of Pangandaran) .
Kira2 awal April aku dapat telp ke Hpku, katanya dari Asti . Hah, Asti , Asti siapa, Prasti? tanyaku heran. Ia jawab jengkel, Hiya, he, apa kau punya teman bernama Asti selain aku, Nu? Nah, ketahuan aslinya. Benar2 Asti PSP, si Ni Woro Ciblon, kata Hihit. Ya; Asti didorong Emel untk menilponku, krn Muchtar sendiri me sms aku tak kubalas. Asti memintaku dgn tegas untuk ikut, supaya teman2 Jogya juga pada ikut.
Ya, aku memang tak bisa memberi ketegasan pada Edmart untuk ikut. Aku sedang tugas di Unit Gaduh Gelisah bulan ini, kalau hari kecepit Sabtu itu nggak masuk dan nggak nyetroomi pasien, nek da ngamuk piye krn teman2 pasti nggak ada yg mau gantikan. Tapi permintaan Asti benar2 menohok jantungku. Jadi kutegaskan, aku harus ikut. Demi keutuhan Lasykar TLDJog70.
Istriku, adik kelasnya Asti 3 th, berpendapat lain. Aku harus ikut untuk kesehatan jiwaku. Wuah, apa aku dianggapnya sudah sinting dan ia sdh bosen merawatku? Katanya, seperti waktu di Joglo Samiaji Wnsr dulu, aku akan pulang dengan ketawa-ketawa ceria dan wajah bersinar-sinar. Ini kesempatan langka yg tak bisa kudapat di kesempatan lain. Segala keluh dan beban di kantor akan hilang setiap kali aku pulang reuni dgn teman2 TLD70 edan kabeh itu.
Tapi istriku mengharuskan aku untuk membawa Sobirin berikut nanggung segala biayanya. Malam itu juga kugedor warung sate Sob yg sudah tutup. Tapi Sob benar2 tak bisa ikut. Jumat pagi ia menyambut 150 0rg suatu klub Sepeda dari Jakarta . Sabtu pagi harus mengawal mereka, yg rata2 masih pemula, naik ke Pakem ke rumah Mbah Marijan, lalu ke timur lewat jalan2 berbahaya ke Prambanan. Harus dikawal 50 org pesepeda senior klub nya Sob. Ya, kutahu ini eksistensi, sekaligus aktualisasi diri Sobirin. Maka aku merelakannya. Kalau tidak, Jumat siang kuseret dia untuk ikut.
Jadilah Jumat siang sehabis jumatan ( krn Edmart harus khotbah dulu di Masjid Karangwaru) kami berkumpul di rumah Edmart. Jendro, Haryadi dengan istri mudanya (bojone ya ming siji kuwi), dan Surya yg memberi bekal untuk di jalan. Nampak sekali betapa gelonya Surya tak bisa ikut acara yg di nanti2 ini. Jadwalnya ke Wina bergeser. Esok pagi ia sudah harus ke Vienna . Ia Vice President WHO untuk urusan Obat.
Diam-diam aku sangat iri. Ia seperti punya kehidupan kedua di Vienna , tempat kelahiran dan berkarya Sigmund Freud, bapak psikoanalisa dunia. Pujaanku sekaligus idolaku, yg selalu kusitir teori2nya di Konggres Nasional. Aku sampai dipanggil "the Freud from Jogya" oleh teman2ku kalangan psikiatri, padahal aku belum pernah menjejakkan kaki barang sehari di museumnya di Vienna .
Akhirnya jam dua kurang seprempat kami berangkat. Mobil Travel L300 Fak Pertanian UGM benar2 bisa diandalkan. Banter, nyaman, ber AC dingin dengan sopir Pertanian jam terbang tinggi. Baru beberapa saat HB sudah menelpon, sampai dimana. Selanjutnya aku yang menelpon dan ia menelpon bergantian ke Edmart. Hm, tuan rumah beserta keluarga yg sangat mencemaskan tamu2nya yg gendheng. Gerimis mulai menyiram seakan air pemandian bidadari jatuh di senja hari menetes ke bumi. Kami berhenti di masjid, kemudia di rumah makan karena perut mulai lapar meski di jalan bekal makan dari Nanik Haryadi n Surya cukup banyak.
Jam 07.30 mlm aku menelpon HB, ternyata rombongan dari Jkt belum datang juga, selain Yu Nanik yg sudah masuk Pangandaran. Yu Nanik yg mana? yg boss catering atau yg ngepit dgnku dulu dari Semaki Gede? Ah, ayem, dari Jkt ternyata lambat juga. Akhirnya jam9.00 mlm kami masuk Pangandaran dan kami salah menginterpretasi petunjuk HB.
Kami kebablasen ke barat ke sasar ke gedung hantu. Lalu balik ke timur, menyusur pantai sambil mendelik mencari Hotel Laut Biru dgn komando HB. Akhirnya sampai juga, disambut HB dgn istri, dan Kaloka. Wah panitia penyambutan Jabar. Lalu segera naik ke atas ke lantai dua dan disambut teman2 rombongan ML. Peluk cium hangat, tawa2 gembira, lalu makan hidangan lezat tuan rumah.
Lalu digiring ke ruang sebelah. Nah ruang cukup luas, berkarpet hijau, tanpa perabot kecuali kursi2 ditepi yg disusun setengah lingkaran. Dan di ujung kiri tepi meja-meja kecil tempat nyamikan, empek2, kacang godhok, pisang godog, coca cola, fanta merah, dan entah apa lagi. Sebuah orgen canggih di sudut depan.
Tepat spt dugaanku. Inilah gaya HB. Baginya alam indah Pangandaran, Green Canyon, Cagar Alam dengan pasir putih dgn goa-goa Jepang dan stalagtit-stalagmit , peninggalan2 purba, tidak penting.
Yang penting adalah ruang luas kosong dengan orgen tunggal dan soundsystem bagus untuk menyanyi dan menari. Suatu hal yg tak kusukai. Dan ia akan main orgen sendiri, lalu menyanyi lagu-lagu barat kesukaanya. Mungkin ia bayangkan Linda Agustin akan hadir juga. Benar-benar gila juga temanku yg ahli kandungan ini.
Asti, Retno, dan Dewi sudah mandi malam itu dan berdandan cantik. Semua memakai celana panjang ketat spt mahasiswa2 FK yg praktek di RSJ. Apa mereka sudah akan menari malam ini, sementara kami semua belum mandi? Acara dimulai dgn sambutan HB selaku tuan rumah, dilanjut Ki Demang Edmart. Profesor anggauta Senat Guru Besar UGM ini menyambut dengan cengingas cengingis. Jelas hanya disini ia bisa menyambut kayak pasienku macam itu, di Senat UGM sana ia tersenyum pun tak bisa, dan wajah harus diangker-angkerkan. Angker bir apa angker burung. Wah.
Ed menjelaskan tentang berbagai pemikiran tentang paguyuban kita, ide-ide mendatang, permintaan para alumni guru Pamantu, kegiatan2 sekolah kita, ide anak2 Teladan sekarang, dll. Lalu permintaan padaku memberi laporan tentang Aminul. Kemudian acara untuk besuk pagi yg padat sampai maghrib dengan makan malam di luar dijelaskan HB.
Dijelaskan pula bahwa unt acara reuni GC ini Kaloka telah membuat sendiri kaos biru tua dgn kraag dan simbol TLDJog70. Dibuat dalam 4 hari. Aku bertepuk tangan keras diikuti teman2. Kuingat dulu untuk reuni di Wonosari, bersama Hajar dan Hardono kubuat kaos dalam 2 minggu, isih nganggo pisuh2an barang. Oalah, gombal kok Hajar ki. Tur diregani seket ewu. Untuk kaos ini Kaloka tak meminta bayaran, dibagi gratis. Tepuk tangan mbata rubuh kedua kali.
Lalu HB mengambilkan kaos yg berukuran XL untku, dan Kaloka berjongkok, memilih-milih ukuran, dan mengulungkan sendiri kaos2 itu ke teman2 yg berdiri berebut. Melihat Kaloka yg seperti itu aku amat terharu, mataku sempat berkaca-kaca, ah cengeng amat aku ini.
Tapi kulihat Kaloka amat bangga memberikan dgn penuh kasih kaos bikinannya sendiri pada teman-teman semasa SMA yang sangat disayanginya. Lho, nek ra terharu ya bangeten ta. Marsito, dokter ahli anastesi yg anteng dari mbantul itu kulihat juga terharu melihat Kaloka. Jumhan dan Japong sibuk memotret adegan mbagi kaos ini.
Acara malam pertama ditutup jam 11.00 malm. Semua turun ke kamar yg sudah di bagi2, empat org satu kamar. Aku mengira akan sekamar dgn teman2 dari Jogya. Rupanya panitia cukup bijak untuk membagi tidak berdasar tempat tinggal. Tapi mataku tiba2 mendelik. Di pintu kamar tertulis nama Dadang di atas namaku. Edan, apa2an ini? Emangnya aku harus mendiagnosis Dadang dan sekaligus menterapinya dalam dua mlm ini?
Dan benar juga. Baru ku masuk kamar, Dadang sudah duduk di tempat tidur, aku berdiri bersandar ke dinding. Baru satu or dua pertanyaan dariku Dadang sudah nggronrol wutah mengungkapkan konflik-konflik dlm perjalanan hidupnya. Aku terkejut. Aneka ragam gejala kejiwaan muncul darinya. Herbud sudah ngglintung tidur disamping Dadang, dan Arif tidur di tempat tidur yg lain. Ternyata Arif Djoko Budiono cuma pura-pura tidur. Telinganya terbuka lebar2 mendengarkan percakapan kami. Ya, percakapan protokol psikiatri yg layak didengarkan oleh semua calon psikiater.
Kami bergeser keluar. Ke beranda kamar kami yg menghadap ke pantai. Debur ombak mengiringi percakapanku dengan Dadang. Di beranda ini ada tiga kursi kayu dan meja kecil menghadap ke laut. Tepat untuk minum kopi sambil merokok menikmati pantai. Pengalaman hidup dadang bagai ombak yg berdebur tiada henti. Ia pernah dipondokkan ke RSJ swasta Puri Nirmala Jogya karena marah dan mengamuk. Ketidakcocokan dengan orangtuanya, dengan teman2 sekantor. Kecurigaan2nya bahwa surat dari Puri itu menghambat kariernya. Ketidakcocokan dengan cara beragama yg hanya mengandalkan ibadah. Hal-hal yg menekannya karena pola pikirnya sendiri yg selalu tidak cocok dengan lingkungan.
Hal-hal biasa, seperti beradu pantat dgn Linda Ismail di bis menuju Gunungkidul dulu diyakininya berkaitan dgn mobilnya yg ketabrak dari belakang sekarang. Dan lain-lain lagi. Sudah berapa simtom kudapat? Cara bicaranya yg meloncat, kadang samoai inkoheren. Jelas aku tak sampai hati mendiagnose sahabatku sejak di SD Taman Siswa ini. Tapi sudah muncul tiga jenis obat berikut dosisnya dibenakku. Aku sangat ingin mengobati Dadang tapi bagaimana caranya?
Berbagai peristiwa yg kualami, emosi yg bergolak krn kegembiraan, jelas tak kan bisa membuatku tertidur. Maka kutelan alprazolam merek Zipras 0,5 mg dan langsung tergolek disamping Herbud yg tubuhnya mulus seperti perempuan. Dadang merebahkan dirinya disamping Arief. Terlentang menerawang ke langit-langit. Entah dia bisa tidur apa tidak malam ini.
Salam hangat,
IW, juni 2010
FROM GREEN CANYON WITH LOVE (Lanjutan)
Matahari kuyakin belum terbit ketika kudengar teman-teman mulai usrek di dalam maupun di luar kamar. Ya, aku ingat acara seperti diumumkan HB semalam. Melihat “sunrise di pangandaran” bersama. Tapi mataku masih terlalu berat gara-gara tidur jam2.00. Lagi pula bukankah langit mendung? Biarlah, andai harus memotret “sunrise” pasti Japong telah memotretnya.
Kulanjutkan tidur. Sampai kudengar rebut-ribut, rupanya suara Muchtar membangunkan teman2. Dadang mulai mandi, sedang Herbud dan Arief telah rapi keluar kamar. Kesempatanku menunggu sambil duduk-duduk di beranda kamar yang menghadap ke laut dan pasar, nyruput kopi sisa semalam dan menyedot gudang garam. Sebuah kenikmatan tiada tara yang tak bisa ditandingi oleh sarapan pagi hotel.
Tiba-tiba si Prof Demang masuk dan mengatakan semua sudah siap-siap, maka kugedor kamar mandi dan Dadangpun keluar. Aku mandi dan berpakaian cepat2 dan keluar dengan menyambar tas kamera. Aku ketinggalan foto bersama di depan hotel dengan semua berseragam kaos “laut biru” hadiah Kaloka. Ini sangat kusesali kemudian. Kemudian semua naik bis yg berwarna biru juga dan akupun meloncat naik tanpa kober sarapan.
Di bis aku duduk dipaling belakang bersama Jumhan dan Japong. Bis melaju pelan sepanjang pantai dan HB berdiri didepan dengan “mike” menjelaskan pemandangan kiri kanan jalan persis seperti “guide” panggilan dari Sosrowijayan Jogya. Tapi penjelasan HB sangat mendetil, sampai ke route2 bis, pemekaran wilayah, berubahnya batas2 kecamatan, sehingga teman2 menduga pasti si HB itu kemarin ikut mencalonkan Pilkada. Marsito yg pendiam malah nyeletuk kalau saham HB di daerah wisata ini lebih dari 70%. Wah, gila.
Dalam perjalanan di bis inilah aku sempat mengamati teman2ku satu demi satu. Si Jumhan, Japong, Hary Suryanto, Kaloka, Marsito, apa yang berubah dari teman2ku ini. Hampir2 tak ada. Demikian pula teman-teman yang lain, tak banyak berubah. Sehingga rasanya aku seperti satu bis dengan teman2ku SMA Teladan klas 1 dlm tour wisata sekolah.
Jumhan itu dengan bentuk kepalanya yang persegi, pundaknya yang bidang, dan cara berjalannya, masih Jumhan yang dulu. Ia dulu kukenal pendiam, agak serius, dan penuh perhatian padaku. Ia menyarankan aku mulai memikirkan klinik mental health sendiri untuk masa pensiunku nanti. Sedang ia sekarang mendirikan biro konsultan bangunan besar. Bandara Adisucipto Jogya adalah proyeknya yg nantinya akan dibuat 4x lebih besar. Wuah, hebat temanku ini. Sebagai insinyur, jelas kemampuan “IT”nya tinggi dan Jumhan mengajarkanku bagaimana mengirim foto-foto dgn blackbary dll.
Japong dengan tubuhnya yang kecil tetap “kiyeng” dengan otot-otot menonjol. Ia olahragawan sejati sampai tua. Diam-diam aku sangat iri dengan kekuatan dan kelincahan tubuhnya. Manusia macam gini apa mungkin bisa sakit? Sedang aku yang dokter ahli malah harus dipasang satu “ring” di pembuluh jantungku. Japong selalu bergerak dengan tas melingkar didadanya yg berisi handycam, kamera, dan Hp-Hp serep untuk memotret. Ia rajin memotret dan menyuting semua gerak teman-teman yg dicintainya.
Untuk artistik jepretan foto, aku sebagai mantan anggauta senior Club Foto HISFA Jogya tak mungkin dikalahkan Japong, tapi apalah artinya ketrampilanku itu bila tak diimbangi kemampuan “IT” tinggi seperti yang dimiliki temanku itu? Japong, dengan teknologi komputer, bisa mengedit foto, membikin foto gelap jadi terang, menajamkan, latar belakang terang digelapkan, mentrnfer foto, menyusun foto dlm satu cerita diedit dlm CD diseling film-film shootingannya diiringi lagu-lagu rock kuno atau seruling sunda. Wah,wah, tobat,tobat. Wis,wis, trima kalah aku.
Lalu Marsito. Temanku asal mBantul yang pendiam ini terkenal pandai, di SMA maupun dikedokteran. Ia tak berubah, Cuma sekarang pakai kacamata. Setelah lulus kedokteran tak kedenganaran beritanya. Maklum, aku bekerja di jajaran Depkes. Ternyata Marsito ke Wamil, lalu spesialisasi anastesi di Jakarta. Sekarang ia sudah keluar dari Wamil, kerja di RS Pertamina dan disekolahkan lagi oleh Pertamina ke subspesialisasi. Ya, dokter pandai dan subspesialisasi pula macam Marsito tentu tak kenal pensiun karena pasti akan dimanfaatkan terus oleh Pertamina. Ia dalam tour GC ini didampingi istrinya, dan entah kenapa aku selalu “jumbuh” dengan istrinya Herbud. Mungkin karena hampir sama tingginya. Pethuk tenan kok aku ki.
Dan kemudian si Emel, Muchtar. Ia jelas lebih gemuk, nampak putih, dengan kumis Antasarinya. Mriyayeni tenan sekarang. Tapi suara braokannya masih sama, memerintah atau meledek orang. Bedanya, dulu ia tak begitu berpengaruh dalam pergaulan, karena hanya braokan meledek cewek-cewek, atau teman serius macam Suwarjono, dan guru-guru yang nganyelke. Tapi sekarang ia nampak “berkuasa” dan berwibawa. Teman-teman kulihat manut dan “berserah diri” padanya.
Kukira ini karena kepribadian Muchtar yg berubah total di usia tua. Tanpa keseriusan, keuletan, hubungan interpersonal yang baik, dan rasa tanggungjawab yang besar, tak mungkin ia jadi pejabat tinggi di Depnaker. Sikap di lingkungan kerjanya ini rupanya berpengaruh pada kehidupan paguyuban TldJog70. Pendapat Emel bahkan bisa mempengaruhi HB si tuan rumah dan sang ketua Prof Demang, selain semua teman di Jakarta . Ia cocok jadi bos sindikat Mafia. Dan Dadang, ketika kutanya kok mau-maunya ikut ke Pangandaran, siapa yang mengajakmu. Ia menjawab pendek : “Muchtar!”. Wuah, edan.
“Nah teman-teman, inilah Sungai Cijulang, yang masuk ke Green Canyon!”, suara HB mengagetkan kami yg asyik berbincang. Tak terasa bis sudah menyusuri tepi GC. Kulihat permukaan air sungai itu naik tinggi karena hujan berturut-turut sepanjang hari. Warna air sungai yang bisasnya kehijauan menjadi kecoklatan dan arus tengahnya cukup deras untuk menggulingkan perahu pelancong.
Menurut HB, Green Canyon ini ditemukan oleh seorang geolog Prancis th 1845, semula hanya turis-turis barat saja yang adventurer kesini. Pada 1970an baru terkenal bagi orang-orang Indonesia sendiri. Toh anak-anak Teladan spt kita ini baru mendengarnya setelah tua-tua ini. Yang memikat dari GC ini adalah sungai lebar panjang yang berkelok-kelok dengan tebing kiri kanan dinding batu kuno berlapis-lapis dan hutan belukar liar tanpa penduduk sehingga menaiki perahu di sungai ini seperti di Amazon atau sungai-sungai di Kalimantan. Atau bagiku, dengan imajinasi spt film Indiana Jones Steven Spielberg atau Apolaypse Now dgn Marthin Seen dan Marlon Brando, Cuma yg ini di Vietnam .
Tebing batu kuno di kiri kanan Sungai Cijulang ini semakin lama semakin tinggi sampai pada suatu tempat diujung sana menjulang tinggi dan melengkung di atas menutrup langit. Dari atas selalu jatuh serpih-serpih titik air yg hamper merusakkan lensa Nikorku yg kupakai memotret menengadah. Perahu-perahu para pelancong berhenti menumpuk pada batu-batu karang mencuat di bawahnya dan penumpangnya pada turun untuk mencebur ke sungai atau sekedar berdiri foto-fotoan.
Dari jauh tebing tinggi melengkung itu nampak seperti mulut jiu raksasa yang menganga gelap dengan taring-taring batu runcing yang siap menelan semua perahu pelancong. Semua teman2 berfoto ria di GC ini sehingga Japong dan Jumhan sangat sibuk dengan hanycam maupun kameranya mengabadikan. Malam nanti shutingan ini akan ditayangkan di pesta dansa di hotel..
Dari GC bis kami ke barat ke Batu Karas, selekuk pantai yang rindang. Tempat ini penuh dengan bis-bis wisata, dan laskar TLD70 mengambil tempat di dua pohon besar yang rindang, menggelar tikar dan membuka makanan. Tentu tak lupa disinipin kami foto-fotoan, lebih banyak close-up berkelompok. Disini kembali aku memperhatikan teman-temanku tercinta ini.
Untuk ibu-ibu, jelas mereka tambah gemuk disbanding waktu gadis dulu. Ini alamiah, biologis, hormonal bagi wanita2 yg sudah melahirkan. Tapi teman2ku putri ini kulihat kegemukannya tak seberapat, rata-rata sintal, moleg, padat, mungkin karena suka berolahraga, jalan kaki atau dancegroup. Seperti Dewi, Asti, Retno, Ipoeng, Nanik, Ninik, Rimadewi, Nyonya Herbud, Nyonya Marsito, Muslichah, dll. Alangkah sehat dan mudanya teman2ku cewek ini, pasti aku lupa kalau mereka semua sudah beranak rata-rata tiga dan hampir mantu semua. Wah, belum lagi ditambah Yang Ti Surya yg semakin tua semakin genit dan langsing itu. Ingin rasanya aku men-towel pinggang teman2 putriku ini semua karena dulu wakti di Teladan aku mendekatpun nggak berani, hehehe.
Dari Batu Karas, HB membawa bis kami ke Batu Hiu. Ini sebuah pantai juga dengan seonggok batu mirip Hiu mendongak yg muncul di permukaan laut agak ke tepi pantai, terpisah laut dalam. Kami berfoto bersama disini karena tempatnya ada padang rumpu yg lapang dengan pagar2 batu putih. Foto foto bersama ini mungkin yg paling lengkap dan akan kukirim di mailist semua melengkapi jepretan2 Japong. Haryadi yg nampak mesra dgn istri mudanya tak luput dari bidikan kameraku.
Dan Rima, yg duduk menyendiri di unda2an tanah atas, duduk di bangku batu putih, dibawah sebatang pohon, pagar putih, menghadap laut, wah. Kujepret dia dgn lima tembakan sekaligus kamera Panasonik lensa Leica ku. Di sebelah kiriku Japong tak kalah cepat membidiknya dgn beberapa jepretan.
Sewaktu naik tangga batu melingkar menuju puncak Batu Hiu tadi, aku tertinggal di belakang. Asti tiba-tiba mendampingiku, berjalan santai sambil ngobrol. Tiba-tiba dari kejauhan atas sana HB dan Marsito berlari-lari turun. Nu, kau taka pa-apa Nu? Tanya mereka. Asti yg jawab : “Ra papa, aku sudah mengawasinya. Aku kan sudah pengalaman ber tahun2 mendampingi orang kaya Inu ini”,. Ah, ya. Kami tertawa bersama-sama.
Asti pasti sudah merasakan bagaimana harus mendampingi dan menjaga Sakti Hutomo, suaminya. Ia sama-sama sudah dipasang “ring”. Ayah Momok dan ayahku bersahabat sejak muda. Sama-sama guru SMA Institut Indonesia . Kedua bapak almarhum itu pasti dulu tak pernah bermimpi kalau kedua anak lelakinya akan jadi dokter ahli yg kondang di kota masing2. Ayahku perokok berat dan mungkin ayah Momok juga.
Diam-diam aku amat terharu dgn perhatian teman2ku tiga dokter ahli ini. Apakah teman2ku sekerja di RS akan seperti ini pula padaku? Bah. Tidak. Mereka sibuk dgn pasien2nya sendiri, bahkan tak tahu aku masuk ICCU. Inilah bedanya teman2 dalam pekerjaan dengan teman2 masa remaja di SMA.
Tak usah kuceritakan bagaimana susah payahnya istriku mendorongku masuk ke ICCU. Bahkan masuk ICCU inipun aku masih bisa menyembunyikan 5 bungkus rokok berikut koreknya di saku2 celana pendekku yg akhirnya ketahuan perawat dan bikin geger ICCU. Bagaimana tegang dan senam jantungnya istri ketika harus melihat ke layer mengamati kardiolog memasukkan kawat tebal ke pembuluh pergelangan tanganku yg merambat terus sampai menembus ke jantung yg ber gerak2 liar, hanya Asti yg tahu.
Istri HB dan ketiga anak perempuannya menggelar tikar di rerumputan Batu Hiu. Doos-doos makan siang berikut rantang dan minuman aqua dikeluarkan. Makan siang disini sambil memandang laut adalah rencana HB. Muchtar sudah teriak2 sambil ketawa2 mencubiti Retno yg menggemaskan. Tapi kojur. Hujan rintik-rintik turun seperti air mata Hiu besar yang kehilangan anaknya. Kamipun menggulung tikar-tkar itu lagi dan berlari-lari masuk ke bis.
Hujan makin lama makin deras sehingga tak ada kemungkinan lain kecuali kembali ke hotel. Makan di beranda kamar masing2 atau di loby sambil ngobrol. Kupandangi langit mendung gelap dgn hujan di luar. Rencanaku semula adalah “menodong” HB untuk mengajak rombongan naik perahu di pantai Pangandaran menuju pasir putih, lalu berjalan masuk hutan cagar alam, ke goa-goa Jepang, goa stalagmite, goa nenek lampir, melihat batu-batu bekas candi, flying fox, tentu asyik sekali bersama teman-teman ini. Tapi apa daya hujan tiada henti. Akhirnya kami cuma mengobrol saja sambil bergolek-golek di tempat tidur.
Tapi bukankah ngobrol sepuas-puasnya dgn teman2 SMA inilah yg kami impi2kan? Apalah artinya keindahan alam dibanding ini? Besok lagi toh kita bisa datang lagi kalau memang kepingin. Akhirnya, dasar balung tuwo, kecapaian merambati tubuh-tubuh kami dan kamipun segera terlelap sejenak. Menunggu malam tiba dimana HB akan mengajak kami semua makan di rumah makan Haji Solichah yang berlanjut pesta nyanyi dan dansa di lantai dua hotel Laut Biru.
IW, 14 juni 2010
No comments:
Post a Comment