Inu Wicaksana
PADA SUATU MALAM DI JOGLO SAMIAJI WONOSARI
Jam berdentang pukul 12.00 malam ketika lagu kemesraan sendu membahana dan kami semua bergandengan tangan. Ini atas usul keras Hendra Bharata, lagu yang kupersiapkan untuk penutupan adalah “Should auld…” atau “Tlah tiba saatnya…”, tapi Hendra yang pegang orgen, profesional lagi, jadi aku terpaksa mengalah. Suasana haru dan sendu tentu saja mengalir. Asti berlari menarik Andi yang malu-malu ke depan, demikian pula Surya berlari menarik Gus Bowo yang berdiri termangu di belakang. Tak ada kamera menjepret karena semua ikut menyanyi. Asti mempelopori menyalami semua teman, diikuti yang lain, cipika cipiki seakan tak mau berpisah. Sesudah itu bubaran. Rombongan Jatim keluar hotel untuk memberi tempat rombongan Jakarta.
Sekitar 25 an teman masih duduk-duduk melingkar dipendopo joglo, mengobrol sambil menghabiskan sisa-sisa makanan lezat yang disediakan Bu Pras (ibu Asti), Gus Bowo dan Wahyuningsih. Entah bagaimana koordinasi mereka itu hingga muncul makanan-makanan tradisional kesukaanku sejak di halaman SMA Teladan, makan sore dan malam di joglo Samiaji. Obrolan mengalir ngrasani teman-teman yang datang hari ini, masa dulu dan sekarang, perilaku hebat dari teman-teman yang tampil. Suara Mochtar yang keras selalu menimbulkan gelak tawa, ditimpa suara Didiek, Edmart, Japong, dan lain-lain. “Wah, Suryawati sudah mapan, nih”, kata Mochtar disambut gelak tawa teman-teman. Semua menuduh Mochtar yang menulis komentar untuk Surya tadi. Ia tak menyanggah, meski aku tak yakin benar. “Soalnya dia dulu kan Pramuka, ngepit, matanya lurus ke depan tak noleh kiri kanan, lha sekarang njedhit, kata Mochtar. Kembali semua tertawa geli. Andaikan Mochtar tahu siapa Surya sekarang ia pasti merindhing dan tak berani berkomentar macam itu. Surya sekarang adalah konsultan Drug and Narcotics WHO yang bahkan dipakai PBB, berkantor antara lain di Wina, Austria. Ia lebih banyak di luar negri daripada di Yogya. Surya sangat merahasiakan hal ini dan pasti marah kalau kubuka disini. Tapi biarlah, bukankah Laskar Teladan-70 sudah seperti saudara? Tapi komentar itu memang bagus, humoris, sama seperti komentar untuk Rimadewi. Aku sukar untuk menduga siapa yang menulis. Sangat halus, tapi tepat dan tajam. Sehabis penutupan, kepada Rima, Andi Wisnu senang mengulang kata-kataku bahwa dulu roknya hanya sekilan. Rima mengayunkan tangannya untuk memukulku. Tapi ia pasti terharu padaku. Maklum, di klas satu aku duduk dibangku sebelah kirinya dan Andi di sebelah kanannya jadi kami pasti mengingat hal itu. Aku juga sangat terharu, bahwa Rima yang baru saja datang dan masuk ke halaman Teladan, melihatku langsung berteriak menyebut namaku, padahal dengan teman-teman lain ia tak mengenalnya lagi. Aku juga terbengong-bengong melihat nya, karena tak mungkin aku bisa mengenalinya kembali setelah 38 tahun tak melihatnya.
Zuchron duduk bersandar jauh di belakang, disampingnya Aminul Safrudin, ikut tertawa-tawa. Aminul dulu berkeras tak mau datang, minder, hingga aku nekat akan menjemputnya. Untung ada Zuchron yang menariknya untuk datang, selain Hartana, sahabat karibnya dulu. Aku sedih, benar kata Mochtar kalau sejak dulu aku lalen, bahkan pada Hartana, temanku dokter spesialis mata FK UGM yang sejak dulu sekota, Jogya, aku tak mengenalinya kembali. Ia semakin tua semakin putih wajahnya. Zuchron membeli tiga kaos, kuyakin untuk ditunjukkan pada anak istrinya. Ia tak selesai kuliah di FK UGM, sehingga Laskar Teladan-70 inilah mungkin yang bisa dibanggakannya. Beda dengan Nurudin. Dokter bedah RSUD Muntilan pemilik RS NduaSatu (Nurudin Dua Istri jadi Satu) ini kubentak karena memborong 4 kaos. Lha ini kan untuk anak-anakku Nu, katanya. Ya, dua anaknya memang lulusan SMA Teladan, satu sudah jadi dokter, tapi yang dua lagi, aku wegah bertanya. Tapi kuhargai dia karena kutelpon siang tadi, habis mengerjakan dua operasi langsung merayap naik nyetir sendiri. Diikuti Junaidi, dokter mata RSUD Tidar Magelang yang selalu kulupakan kalau ia Laskar Teladan-70 juga.
Isbaron pamit dulu akan ke Semarang. Diikuti Wahyuningsih sambil membawa tas besar entah apa isinya, bersama pengawalnya yang gagah tegap, Hardono, setelah digarap habis sama teman-teman. Aku lega Hardono achirnya muncul juga malam ini, ia sangat aktif mengumpulkan teman-teman Jogya sejak pertemuan pertama di rumah Harjanti 2006, entah kenapa dia hilang tahun 2009 ini. Nur Fuad dengan wajahnya yang tetap “klasik” di tengah haha-hehe, sedang Dadang Rohendi duduk jauh di sudut pendapa, menyedot cerutunya dengan nikmat, diam dengan sedikit senyum, tapi matanya berkilau melihat teman-teman yang dikasihinya berbicara sambil bertingkah kacau.
Jam menunjukkan pukul 01.15 malam ketika obrolan mulai mengendur, kecapaian. Mata Titik Ratna Sudewi kulihat amat merah, entah karena terlalu banyak menangis haru atau mengantuk. Kami membubarkan diri dan mulai mencari tempat bergolek masing-masing. Obrolan masih berlanjut di beranda di depan kamar-kamar. Petugas hotel hilir mudik membawa kasur-kasur tambahan. Kukeluarkan dua tablet dari tasku yang akan kuminum dengan aqua sisa. Sebuah tablet Tensivas 5mg karena kutahu tensiku pasti naik karena emosi, capai, dan daging kambing bakar luar biasa enak dengan lontong tadi, gara-gara di tarik-tarik Hendra, mumpung tak ada istrimu, katanya. Dan sebuah tablet Zipras(alprazolam) 0,5mg, anxiolitik/anti cemas, karena kuyakin pasti aku tak kan bisa tidur malam ini. Teman-teman melongo melihatku mengeluarkan obat. Ketika kutawarkan obat anti cemas yang bikin ngantuk itu semua menolak, karena mereka semua sudah mengantuk untuk bangun pagi-pagi buat acara ke mBaron. Ya,besok pagi Dewi bikin acara nostalgia ke mBaron. Didiek menghitung lima belas orang, sebuah mobil kijang dari Joglo dan sebuah Stream milikku tak kan cukup untuk orang tua-tua yang gemuk ini, jadi harus tambah menyewa mobil satu. Didiek menyesal tak bisa ikut, demikian pula Edmart karena dapat undangan Wisuda di SMA Teladan, ia mewakili Laskar Teladan-70.
Angin malam meniup pelan menggerakkan ranting dan daun-daunan seakan berbisik-bisik menyuruh tidur manusia-manusia yang masih berisik. Pendopo Joglo telah sepi dengan meja-meja berserak berisi sisa-sisa makanan, buah dan kertas-kertas tissue. Kumatikan rokok Gudang Garamku yang segera kulanjut dengan cerutu pemberian Dadang. Kau mau tidur dimana Ed, tanyaku pada si prof. Ah, banyak tempat, di mushola juga bisa, jawabnya. Aku nggak kebagian kaos Nuk, habis, katanya sambil ngeloyor ke mushola diikuti teman. Ya, Hajar Pamadhi pasti tertawa puas kalau tahu, gampang, bikin lagi, kataku. Dua minggu lalu Hajar keras memintaku untuk mengirim logo THA buat kaos itu lewat e-mail. Butuh waktu seminggu aku bisa menemukan logo itu dan setengah mati mengirimkannya dengan kitir listrik karena aku gaptek. Ternyata akhirnya tak dipakai karena Hajar merancang sendiri bersama Sujendro. Aku puas dengan hasilnya, hitam legam berkerah seperti usulku dan ada yang berukuran 4 L yang pas untuk tubuhku. Yang segera kupakai berfoto rangkulan dengan Mochtar yang akan kupamerkan anak-anakku dan teman-temanku psikiater di RSJ bahwa aku berteman dengan Antasari. Sayang Mochtar ketawa meringis. Antasari tak pernah ketawa, senyumpun tak pernah.
Kusedot cerutu dari Dadang itu dalam-dalam. Mau tak mau aku harus mengakui Edmart itu ketua alias Ki Demang yang benar-benar berjiwa Leader. Ia tak pernah memikirkan dirinya sendiri. Seluruh pikiran dan jiwa raganya adalah untuk kegembiraan 75 teman-teman tercinta yang datang hari ini. Selama sebulan penuh pasti banyak enerji dan pikirannya terhisap untuk persiapan acara dahsyat ini. Bayangkan, seluruh teman-temannya tidur di kasur tempat tidur di kamar hotel yang nyaman, dia sendiri tak kebagian tempat dan cukup senang tidur di mushola. Selamat tidur nyenyak Ed, dan selamat atas kerjamu yang luar biasa.**** (BERSAMBUNG) .
PADA SUATU MALAM
DI JOGLO SAMIAJI WONOSARI
inu wicaksana
Angin malam kembali bertiup menggerakkan dedaunan yg seakan merintih. Suasana mulai sepi. Tak terdengar lagi celoteh teman2ku. Aku masih duduk sendirian di beranda depan kamarku, menyedot cerutu Dadang dengan coca cola sisa yg kucampur aqua. Kembali terbayang suasana sore tadi yg mengejutkan kalbu. Wajah orang2 yang sudah 38 tahun kulupakan tiba2 muncul kembali. Edi Roseno, Zuchron, Hartana, Aminul, Joko M, Linda Ismail, Umi Pur, Retno, Ewik (Dewi), Marsito, Edi Marwoto, Haryadi, Ah prof biologi itu, lupa lagi, Dadang yg sejak datang hanya aku yg ditanyakan tapi tak kukenali lagi, dan lain-lain. Hiruk pikuk. Histeris.
Lalu malam harinya. Seandainya aku, yg sudah menyanggupi sebagai pembawa acara, harus dinilai. Nilaiku tak lebih dari 3. Karena semua acara yg tlah kususun 3 minggu ini. dgn ubarampenya, gagal. Pidato pembukaan birokratis Ki Demang, lalu tiga pasang Capres, Asti dan Hihit dari Jatim, Hendra dan Yatni dari Jabar, Muchtar dan Retno dari Jakarta, Surya dan Suharyadi M dari Yogya, masing2 harus mengisi acara selama 15 menit. Dilanjut pemutaran film hasil shootingku sendiri dua kali reuni syawalan di Yogya, lalu festival foto jadul dan sekarang karya Japong, dilanjut pidato 3 menitan seluruh hadirin, dilanjut spontanitas menyanyi dan menari dan baca puisi. Semua buyar. Empat pasang Capres itu malah memanggil partai pendukungnya dan memperkenalkan satu persatu semaunya sendiri dgn haha hehe. "Jangan dipaksakan Nu, biarkan semuanya bebas mengalir", kata Yang Ti. Ya, Edmart sebagai ketua adalah tempatku bersandar, dan Surya adalah pemberi kata2 bijak yg selalu menenteramkan hatiku. Ah, alprazolam 0,5mg lupa kutelan sore tadi. Hatiku yg stres mendadak jadi euforia. Apa yg kemudian terjadi benar2 di luar dugaanku. Teman2 berjingkrak dan berteriak secara spontan. Yang terjadi adalah acara pentas reuni yg dahsyat. Penuh greget, gairah, kangen, ekspresif dan gembira-ria. Pentas yg terjadi adalah jauh lebih hebat dari acara apapun yg bisa kususun. Termasuk APR dan Fuad, Hitapriya dan Asti, serta Surya dgn rombongan sinden wiraswaranya yg mocopatan, semua memikat. Gek kapan le latihan. Si Sudarmanto ternyata empu gending Jawa. Lalu Woro Ciblon yang tampil menari dengan Dewi dan dua ibu2 lain, waktu Kus Hendratmo Herbud menyanyi. Alangkah hebatnya. Sukar ku membayangkan ibu2 cantik sexi itu kapan latihannya. Semua lincah, menunjukkan derajat kesehatan jiwa yg tinggi kecuali aku dokter jiwa yg mulai sakit jiwa berat. Inilah pengalaman untuk acara reuni macam ini. Semua tak bisa dirancang. Tak bisa dibayangkan. Biarkan semuanya bebas mengalir, kata Yang Ti Surya.
Kusulut lagi sebatang cerutu dari Dadang. Ya, Dadang Rohendi. Wajahnya tetap tampan di usia 55, putih dan agak gemuk. Aku benar2 tak mengenalinya lagi, seperti Pery Sutadi. Dadang itu dulu kan komandan TonTi TLD-70 yg keras dan sadis, kata APR. Setengah mati kuingat-ingat. Samar2 mulai muncul Dadang dalam ingatanku. Lincah, putih, suka teriak-teriak dan tertawa keras tak kalah dengan Muchtar, jago sepak bola, memimpin TonTi yg suka menghardik teman2nya yg klelat-klelet. Tapi mengapa dadang sekarang berbalik 180 derajat? Ia sangat pendiam, penyendiri, pemalu, tak banyak bicara dan matanya menerawang entah kemana. Benar2 dibutuhkan penelitian psikiatrik lama untuk bisa menganalisa temanku satu ini.
Kuingat betapa kerasnya Muchtar membentak Dadang untuk menyanyi, dan Dadang menolak dengan satu kata. Aku tersenyum. Nampak benar betapa sayangnya Muchtar pada Dadang dan ingin mengajaknya menyanyi, karena ML sendiri ingin menyanyi tapi tak mau bila tanpa Dadang. Muchtar bukan psikiater, tapi barangkali ia tahu kondisi jiwa Dadang dan ingin membangkitkan kegembiraan temannya itu. Hm, Muchtar sendiri menarik. Dulu ia sekelas denganku di PP2 dan satu regu dgnku di Thunderbool Division, ujian camping. Di kelas Muchtar anak yang paling ndugal, di luar kelas berandal. Ia suka mengejek-ngejek cewek sekelas. Basuasti, Nunuk, Rini Suharsih, Sunariyah, mbak Kus, Sumarni, semua abis dikerjainnya. Juga Yoyon Kusnendar dan Suwardjono yang amat dibencinya karena naif. Muchtar sangat benci dgn Suwardjono yg selalu berkata keras, berlagak serius dan naif. Ya Suwardjono, ia sekarang Prof Doktor ekonomi UGM yg disegani, tak pernah muncul dalam reuni, suatu ketika kalut membawa anak gadisnya, mahasiswi yg stres, histeris, teriak2 kacau, menendang-nendang, langsung dimasukkan ke kamar praktekku di Cendana, dan ia bersama istrinya menunggu di luar. Aduh, sialan, aku harus menanganinya tanpa bantuan perawat jiwa.
Muchtar sekarang telah lain, setelah 38 tahun berlalu. Ia seorang pejabat pemerintah yg sukses dan berwibawa, cukup tinggi kedudukannya, sebagai tangan kanan Menteri Tenaga Kerja. Ini tak mungkin terjadi bila ia tak mempunyai kepribadian yang baik. Dalam arti ulet, tekun, serius dalam pekrjaan dan hubungan interpersonal, kreatif dan bertanggungjawab. Kulihat ia sangat peka dan penuh perhatian pada orang lain. Ia juga sangat mencintai dan menghormati teman2 SMA nya, dibalik humornya yg tak habis2 dan suaranya yg tetap keras. Aku sangat bahagia, telah terjadi "mutasi kepribadian" pada Muchtar. Lebih bangga lagi aku karena anak laki2nya adalah calon dokter dari FK UI.
Mirip dengan si ML adalah Didiek Iswardana. Ia satu grup dgn ku di Thunderbool Division dan punya ide pakai seragam celana doreng dengan me"nyelep" kain polos. Ia teman dekat ML dan mboncengkan ML kesana kemari. Ndugalnya tak ketulungan. Ngeri aku melihatnya. Tak pernah belajar, kerjanya cuma pesta-pesta memburu cewek-cewek ra nggenah. Di depan mataku, ia ber "ajojing" dengan cewek cantik yg menanggalkan roknya dan menari-nari hanya bercelana pendek. Ternyata Didik sekarang lain sama sekali. Ia seorang arsitek, pemborong yg maju. Membangun perumahan dokter2 Panti Rapih. Dan ia tokoh masyarakat di kecamatannya. Beberapa tahun lalu ia menelponku memintaku ceramah Narkoba untuk masyarakat desanya, di kantor polisi Kalasan. Edan tenan. Minggu2 lagi. Tapi Didiek berkeras memaksaku. Kalau bukan dia, pasti kutolak. Waktu iring2an menaiki Gunung Kidul, hampir tiap 5 menit ia menelponku di mobil bersama tiga pendekar Jabar itu. Dan Didiek menghentikan bis dan rombongan di tepi hutan jati masuk Wonosari. Untuk apa? Untuk menungguku supaya mobilku bisa bersama-sama iring2an. Aku geleng2 kepala. Ketika harus belok mau masuk gang ke Joglo, aku yg lalen jelas kebablasen. Didiek yg mengenalku sebaik Muchtar, segera balik menjemput kami dengan sepeda motor. Edan, le njilih sepeda motor ko ngendi kuwi, kata Edi Marwoto yg semobil denganku. Betapa besar tanggung jawabnya pada teman2nya. Ia nampak sangat kecapaian tapi tak memperhatikan dirinya sendiri. Ketika malam pentas itu, ia telah mandi dan santai di pinggir, mengelilingi pendopo Joglo, menyapa dan mengobrol dengan semua teman, laki2 dan wanita. Ya, diam2 aku sangat senang dan bahagia melihat temanku sekelas ini> Didiek telah berubah, "mutasi kepribadian" seperti Muchtar. Hanya gaya bicaranya yg masih sedikit menampakkan sisa2 perilakunya dulu. Atau inikah yg disebut perkembangan dan kematangan kepribadian manusia?
PENYAMPAIAN TANDA TERIMA KASIH UNTUK GUS BOWO
inu wicaksana
Sabtu malam 27 Juni ini praktekku harus kuajukan satu jam, karena ada undangan dari Edmart dan Surya, penyampaian tanda terima kasih untuk Gus Bowo di RM Astomoro, Jl.Kaliurang. Yah untung cuma 6 pasien. Tiga orang pecandu heroin suntik dengan HIV positif yg kontrol berobat, dua orang pecandu ganja dan ekstasi yang mondok krn overdosis. Dan satu anak muda dgn gangguan jiwa berat yg brenti minum obatku lalu ngamuk dan akan membakar ibunya. Aku tersenyum melihat si jagoan itu meronta berteriak-teriak mau menghancurkan rumah sakit, dipegangi dua Satpam. Aku harus cepat, selak ditunggu teman2. Sgera kuinstruk sikan suntikan chlorpromazine 100mg yg dilaksanakan dua perawat dibantu Satpam, langsung diikat masukkan ambulan dibawa ke utara. Besok pagi dia bangun sudah berada di kerajaanku yg sejuk dan indah, RSJ Magelang. Vonis sudah kutulis di surat pengantar, stroom 12x di kepala dan mondok setahun bersama 800 pasien jiwa yg lain.
Kupacu mobilku meninggalkan RS Panti Rapih masuk jalan Kaliurang. Dengan lincah kulewati banyak cowok cewek boncengan mesra karena ini malam minggu. Segera kuingat ejekan Hajar Pamadhi. Wuah, mobilnya Inu lincah menaiki Gunung Kidul, huebat, woo ternyata yg nyopir Hendra Bharata, hahaha. Yo ben, cen aku ra isa nyopir, gerutuku jengkel pada seniman sinting itu. Sampai di prempatan ringroad, ke utara lagi 500m sesuai petunjuk Surya, akhirnya sampai di depan RM Astomoro di bawah pohon yg rimbun, agak tersembunyi.
Bagian depan RM ini tanpa dinding, hanya tiang-tiang, terbuka. Nampak meja-meja dan kursi-kursi kayu kuno, dengan lampu-lampu redup temaram. Hm, mirip cave. Pasti boleh merokok sambil nyeruput lemon-tea dengan es. Cocok. Surya dan Edmart selalu memilih rumah2 makan antik untuk pertemuan laskar teladan-70 kademanga n Jogya. Di sudut kiri kulihat meja disambung memanjang, dan kepala2 orang2 brengsek itu yang entah mengapa sangat kucintai. Chaiyatul Hujana si bapak baru, Gus Bowo, Hajar, Iyah yg mungil, Suryawati, dan Edmart. Aku disambut meriah. Hujana langsung menyodorkan sebungkus Dunhill. Joko Prasetyo dan Wahyuningsih yg habis njagong, datang menyusul.
Ayam bakar datang, dengan nasi, lalapan, sambel, dan pete. Segera kami menggasaknya. He, ketahuilah, kemantren Jatim itu cuma segelintir orang macam ini, cuma 8 orang, tapi sangat solid dan reaktif, kataku. Fuad datang disambut, Edmart datang disambut, APR datang disambut, hangat meriah. Lha kita ini bagaimana?, kataku lagi. Aku tak menduga kalau ucapanku itu disambut bagai boomerang yg menghantam kepalaku. Alah, yg tak bisa datang itu pasti kamu, alasan praktek, pagi, siang, sore. Ngurusi orang gila terus sampai tua, sambut teman2 serempak. Aku dheleg-dheleg. Iya, benar juga. Sekarang harus banyak waktuku untuk orang waras.
Kuingat Prasetyono Wijoyo datang dan Edmart langsung meng-sms semua teman untuk makan pagi bersama si Pras. Dan aku sedih hanya bisa menikmati foto makan pagi itu. Jam 7.30, pasti selesai jam9.00, dan pasti aku akan kesiangan sampai di Magelang sekencang apapun aku ngebut. Ya, sudah 15 tahun aku nglaju. Sembilan tahun ngebis dan enam tahun nyetir sendiri. Beda dengan semua temanku yg kerja di Jogya. Padahal aku sudah sangat kangen dengan si Pras yg jenaka itu, sudah 38 th tak ketemu. Lain dengan Harjoko yg relatif sering ketemu, di jalan atau di airport. Kalau bicara kaya ya-ya-o, tapi ia tak pernah mau datang di pertemuan2 kademangan Jogya. Dasar Harjoko.
Percakapan bergulir kesana-kemari. Hujana sudah pensiun dari Jamsostek. Sekarang ia punya program bantuan ternak sapi di Bantul, wilayah binaannya dulu. Hanya sekarang dia action sendiri tanpa suatu lembaga. Aku bangga dengan temanku pensiunan yg produktif ini. Satu-satunya cara mencegah demensia atau penyakit degeneratif ketuaan adalah tetap aktif menggunakan otak kiri dan kanan, tetap bekerja, dan bersosialisasi. Maka Harjana masih tetap nampak lebih muda 15 tahun. Ya, selain faktor pendampingnya itu, yang berusia 26 th. Wuah, iri lagi aku.
Darminah yg bicara asyik dengan Harjana, sekarang buka usaha sendiri, setelah pensiun sebagai pimpinan Bank. Hajar luar biasa puas bikin kaos 100 buah ludes. Meski Andi complain karena tak ada yang berukuran M. Kau akan segera gemuk nDi, teman2 menghibur dokter bedah tulang yang suara kamar oprasinya mirip gedhogan jaran itu. Ki Demang printah Hajar bikin kaos lagi, tapi yang putih warnanya atas permintaan Surya. Nah, bagi teman2 yg menginginkan kaos TLD-70 warna putih, bisa pesan Ki Demang.
Biaya konsumsi semua konon 8 juta. Tapi Bu Pras tak mau dibayar karena ditanggung Asti. Wuah, terima kasih banyak As. Edmart dan Surya "umyeg" mau kasih hadiah Bu Pras. Tapi apa, ya? Batik sutra ATBM? Ah, serahkan Yang Ti sajalah.
Baru kutahu sebuah misteri. Edmart yg crita. Hendra Bharata yg sudah bayar iuran, diam2 mendekati Edmart di penutupan untuk merampognya. Dapat berapa uangnya Ed, tanya HB seram dingin tanpa senyum. Edmart gemetaran menjawab, 9,1 juta, tapi...tapi. ..ini untuk banyak kebutuhan. HB kembali berkata tanpa mengubah nada suaranya, "Mau kugenapi jadi 10? Bisa kubayangkan sang profesor pertanian itu pasti lega dan meringis sampai liurnya menetes-netes. Gila benar. Mengapa tak kutahu hal ini? Padahal si HB itu bersebelahan denganku semobil sejak Tugu sampai Joglo, tidur sekamar, ke mBaron, dan turun gunung kuantar Minggu sore ke rumah adiknya di Jogya. Terima Kasih nDra, atas nama panitia. Tentu dana yang jadi 10 itu tidak hanya untuk kebutuhan kademangan Jogya, tapi kebutuhan semuanya, Laskar Teladan-70.
Suryawati ingin merealisir usul Asti, bahwa sebaiknya paguyuban kita ini mempunyai program membantu teman2 yg kurang mampu. Segera muncul sebuah nama, tapi teman lain mengatakan dia cukup mampu. Muncul nama lagi, tapi benarkah dia kurang mampu? Dan apakah ia mau menerimanya? Sulit juga. Tapi ini ide mulia. Contoh alumni Teladan angkatan Pak Hadiwarno. Ada seorang teman, jualan bakmi, bangkrut sampai peralatan bikin bakminya ludes terjual. Tak bisa kerja apa2 lagi. Teman2 seangkatan membantunya dengan membelikan perlatan bikin bakmi lagi, dan memodalinya untuk bangkit. Semuanya puas ketika akhirnya ia berjualan bakmi lagi dan sukses.
Segera kuingat teman kita Sobirin, si penjual sate kambing. Tapi Sobirin tidak bangkrut, malah semakin lama semakin jaya. RM nya cukup besar di Jln.Monjali. Hardono yg membawaku padanya. Toh begitu ia malu dan minder untuk datang reuni syawalan 2006 ketika aku mengajaknya. Tahun 2007 aku menjemputnya, ia menolak lagi. Tahun 2008 aku mengancamnya tak akan datang bila tanpa dia meski aku akan membawakan acara. Ia hampir menangis, menyatakan trima kasih, dan memohon untuk tidak datang. Putus asalah aku. Ah, Hitapriya di Jatim mungkin akan lebih berhasil membawa teman2 yg macam ini ke pertemuan kita.
Lalu akankah kita menyumbangkan sesuatu untuk almamater kita? Bila ya, apa yg bisa kita berikan untuk SMA tercinta itu? Sudah terkenal bahwa anak2 masuk SMA TLD tujuannya untuk lanjut belajar keluar negri. Sejak klas II mereka mengikuti tes dari lembaga2 asing yg kerja sama dgn sekolah. Setelah lulus mereka lanjut studi S1 keluar negri lalu bekerja disana dan tak ingin kembali ke negara kita. Maka teman2 ingin membikin Workshop tentang "Nasionalisme" untuk anak2 TLD sekarang. Arief sudah menawarkan mereka bisa dibawa ke Taman Mini dikenalkan berbagai anjungan. Tentu saja ini harus dibicarakan dengan kepala sekolah. Bisa ditambah dengan pelatihan "Leadership" atau sejenisnya.
Gus Bowo yg gendut menggelengkan kepalanya keras2 ketika Ki Demang mulai etung2an habisnya ragad di Joglo. Bowo menolak keras. Waduh, padahal Joglonya amburadul berantakan kedatangan laskar petakilan yang histeris berjumlah 75 orang itu. Karena itulah Edmart mengeluarkan sebuah bungkusan dari tas besarnya untuk hadiah si Gus. Sulit aku menduga-duga isinya, entah baju, kain batik atau handuk. Surya tak mau kalah. Ia mengeluarkan sebuah bungkusan besar dan menyerahkannya untuk Bowo. Segera dibuka. Isinya sebuah lukisan batik yg sudah dipigura, dengan tulisan "matur nuwun" tercetak di sudut bawah. Edan tenan ki. Mengapa aku tak diberitahu kalau ada hadiah2 pribadi macam ini? Apa dikira aku tak bisa memberi hadiah yg mengejutkan? Semua cuma melongo melihat Yang Ti yang nJedhit itu memamerkan hadiah lukisan bathiknya  bergambar burung yang cantik.
Di akhir acara ketika semua masih ribut bicara ngalor ngidul, Gus Bowo mengamat-ngamati hadiah lukisannya, meraba-raba tepinya, membaliknya dengan penuh minat. Diam2 aku mengamatinya dengan sudut mataku. Lalu kupandang mata Hajar tepat di tengah bola matanya. Hajarpun memandangku. Sudah lama kami punya kemampuan bicara telepati dari hati ke hati. Lalu Hajar mengangguk mantap sambil senyum. Anda ingin tahu apa isi pembicaraanku dengannya? "Tuh, lihat Jar. Dia suka lukisan. Kau harus memberikan salah satu lukisan terbaikmu untuknya". Dan jawab Hajar "Oke Dul, beres!".
Acara berakhir pukul 21.30. Foto bersama dengan Gus Bowo di tengah dengan hadiah2nya. Di jepret berulangkali untuk dikirim ke mailist kita. Lalu kutarik si Yah untuk foto berdua saja denganku. Surya membolehkan tapi aku harus menggendong si Yah. Lalu kami berdelapan inipun pulang dengan puas. Si Gus naik kembali ke Gunung Kidul. Sendirian. Menuju kamarnya yang sepi di Joglo Samiaji. Entah apa yang akan direnungkannya disana. Mungkin ia akan merenungkan tiap malam gegap gempitanya pertemuan dahsyat Laskar Teladan-70 itu di Joglonya. ****  Â
No comments:
Post a Comment